Aktif sebagai kepala sekolah selama 3 semester ini membuatku lebih melihat realitas pendidikan yang ada di lapangan bukan melalui ocehan di perkuliahan dan warung kopi yang sangat idealis. Namun selama itu juga hubungan saya dengan dunia akademik universitas juga tidak terputus begitu saja, masih saja sesekali nongkrong di kampus bincang-bincang dengan dosen maupun rekan-rekan mahasiswa yang tidak lulus-lulus (uupps...) atau bahkan dengan adik kelas. Ngopi di tempat nongkrong tiap 2 atau 3 minggu sekali tidak pernah absen dengan teman-teman seorganisasi di kampus dulu. Sehingga pandangan idealisku tetap terpupuk dengan subur ditengah-tengah realitas yang aku hadapi setiap hari di sekolah dan di rumah. Idealitas pendidikan ala kampus memang tidak pernah cocok dengan realitas pendidikan yang ada di sekolah (apalagi sekolah swasta yang masih berkembang) sampai kapan pun.
Di diskusi kampus kita berteriak pendidikan gratis dan stop komersialisasi pendidikan, namun ketika berhadapan dengan realitas biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh sekolah tentu hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalian kaya sekaligus baik hati yang memang ingin mendirikan pendidikan gratis. Di kampus kita diajari untuk mengajar dengan berbagai strategi, media dan metode agar pembelajaran menjadi semakin hidup, namun kenyataannya kita terlalu dikungkung oleh peraturan serta administrasi dari dinas pendidikan serta pencapaian materi yang ditentukan pemerintah. Ketika kita ingin mengkreasi pembelajaran yang akan memakan waktu banyak, nanti para rekan guru akan ketakutan jika ada materi yang tidak diajarkan ketika semester berakhir. Bahkan setiap tahun pencapaian materi siswa tidak kunjung berkurang malah justru ditambah dari segi kuantitas maupun kesulitannya sedangkan waktunya semakin sedikit karena ujian semakin tahun juga semakin maju. Hal ini membuat stres para guru agar bisa mengajar seluruh materi dengan waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga mungkin tidak akan memedulikan strategi pembelajaran dan tingkat pemahaman para siswa. Kalau gurunya sendiri sudah stres jangan ditanya bagaimana keadaan muridnya, mereka hanya bisa pasrah seperti domba yang dibawa tuannya. Apalagi orang tua yang semakin sekarang trennya sangat mudah termakan cuitan netizen dunia nyata maupun dunia maya yang mungkin akan memperburuk keadaan dengan menyalahkan guru atau sekolah tanpa ingin tahu ribetnya dinas.
Memang benar apa kata dosen dan rekan-rekanku dari fakultas non-tarbiyah yang memiliki pandangan bahwa orang tarbiyah (baca: lulusan fakultas pendidikan) memiliki mindset yang tertutup, sulit berinovasi dan cenderung ikut tanpa melawan. Saya memang merasakan itu, dan disadari atau tidak itu yang memang diajari dibangku perkuliahan tarbiyah. Buktinya hampir semua sekolah itu sama saja, tidak ada perbedaan yang signifikan, hanya orang-orang gila dan berani yang siap ‘melawan’ peraturan dinas yang super ribet dan fix itu. Ketika ada yang usul untuk berbeda sedikit, ada saja yang menentang karena berkas-berkas dinas sudah penuh dengan angka dan kata-kata yang tidak bisa diubah lagi. Namun ketika kita hanya mengikuti dinas.. yaaaaa..... pola pendidikan kita gini-gini saja tanpa ada perubahan. Murid-murid akan diibaratkan seperti bahan baku pabrik yang akan diproses dengan cara yang semuanya sama dan dituntut untuk sama tanpa memperhatikan keunikan dan potensi masing-masing anak. Pendidikan di Indonesia akan semakin hambar dan hanya akan menghasilkan orang-orang mengerti tanpa bisa melakukan dan berkarya sesuai passionnya.
Kita lihat saja sekarang untuk level anak SMP dituntut untuk mempelajari 11 mata pelajaran formal dan harus bisa semua (indikator KKM rata-rata biasanya mendapatkan nilai 70). Sedangkan materi yang diajarkan sudah banyak yang diadaptasi dari materi SMA/ SMK (menurut beberapa guru di sekolahku), dalam artian beban materi yang diberikan semakin lama justru semakin berat. Padahal si guru sendiri ‘hanya’ dituntut untuk mempelajari 1 mata pelajaran yang akan diajarnya. Sungguh berat sebenarnya beban siswa kita jika kita peduli dengan otak mereka. Apalagi sekarang banyak yang menerapkan 5 hari sekolah yang artinya pembelajaran akan dimulai pukul 07.00 (06.30 kalau Jakarta) dan akan berakhir pada pukul 15.00. Kondisi anak sudah stres dengan berbagai beban yang ada di sekolah, ditambah mereka tidak bisa refreshing bermain-main di luar karena waktu sudah terlalu sore untuk bermain. Akhirnya mereka semua pelampiasannya pada gadget, sosial media dan game mobile yang sungguh adiktif dan boros, itupun kalau yang didampingi orang tuanya akan bisa diarahkan. Lha kalau tidak? Anak-anak akan dengan liar berselancar di internet mengakses hal-hal yang belum waktunya yang bisa saja berefek negatif pada anak seperti ujaran kebencian, motivasi yang salah, kehidupan royal, drama-drama tidak jelas, hingga pornografi. Terus kemudian kalau sudah terjadi kasus-kasus seperti yang viral di internet akhir-akhir ini siapa yang disalahkan? Guru? Sekolah? Orang tua? Teman kelas? Mengapa tidak ada yang menyoroti sistem pendidikan kita saat ini sih? Seharusnya pemerintah dan dinas pendidikan yang paling bertanggung jawab atas segala kasus efek domino ini.
Kalau aku sih....
Tentu tulisan ini tidak hanya mendiskreditkan pihak-pihak di atas, aku menawarkan beberapa solusi yang mungkin akan menolong secara konsep. Namun belum tahu juga efeknya akan berhasil atau tidak karena belum aku coba bahkan untuk disekolahku sendiri. Paling tidak ini memberikan alternatif arah pendidikan kita ke depan (kalau saja dibaca sama pemerintah atau beberapa pemegang kebijakan sekolah negeri atau swasta). Memang mungkin agak terkesan idealis kampus, tapi sebisa mungkin aku benturkan dengan realitas yang ada di lapangan. Ini adalah beberapa alternatif yang bisa diterapkan.
1. Pengurangan materi pelajaran ke hal-hal dasar namun bermakna
Telah disebutkan di atas bahwa materi pelajaran kita terlalu banyak (dan mungkin tidak realistis), jika kita telisik lebih dalam lagi akan banyak materi yang sebenarnya tidak terlalu penting secara pragmatis juga untuk diajarkan kepada anak-anak usia SMP. Kenapa harus tahu banyak sekali materi sedangkan nanti di jenjang selanjutnya dipelajari lagi. Selain itu banyaknya materi yang segambreng itu tidak mungkin semuanya akan digunakan di kehidupan sehari-hari. Anak-anak tidak harus tahu secara mendetail tentang kimia analisis, unsur-unsur kimia, sudut-sudut tidak beraturan, aritmatika yang super ribet, ataupun membuat karya sastra tingkat tinggi. Seorang anak tidak mungkin bisa melakukan semua itu kecuali memang ditekan betul oleh semua pihak.
Alangkah baiknya jika materi pembelajaran yang disampaikan di dalam kelas adalah materi-materi yang dasar dan mungkin akan digunakan secara pragmatis di kehidupan sehari-hari. Karena semakin lama anak-anak Indonesia penerus generasi bangsa akan hanya paham tentang basic science (teoritis) tanpa bisa mentransformasikannya menjadi applied science (terapan) (Kasali & Khairen, 2016). Sehingga kedepannya kalau kondisinya seperti ini terus bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang gagap dengan pekerjaan, artinya dia tahu semua hal tapi tidak bisa mempraktikkannya. Atau malah karena terlalu banyak teori yang dipelajari sehingga mereka menjadi stres. Jadi, potong saja materi sekarang yang ada di sekolah, sederhanakan menjadi materi yang lebih mudah agar anak-anak lebih mudah paham dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pengurangan jam pelajaran
Saat ini di Indonesia terdapat 2 sistem waktu pembelajaran di sekolah, pertama yang masih menerapkan 6 hari sekolah seperti beberapa tahun lalu dengan rata-rata 7 jam perhari (kecuali hari jumat yang hanya 5 jam). Kedua yang sudah menerapkan 5 hari sekolah seperti layaknya para pekerja kantoran yang di sekolah sampai 9 jam perhari yang pulangnya sampai jam 4 sore, itupun kalau tidak ada les, ekstra atau kegiatan tambahan. Bayangkan saja untuk skema yang kedua anak berangkat dari jam 06.30 dari rumah menuju ke sekolah terus kemudian belajar segala hal sampai pukul 16.00 kemudian masih ada les dan ekstra sampai pukul 18.00. Setelah itu baru dia pulang dan sampai rumah sudah pukul 18.30 semua sudah lelah tanpa bisa melakukan aktivitas rumah lagi karena dari pagi memang belum istirahat penuh. Belum lagi kalau masih ada PR... hyuhhh. Mau kapan itu istirahat dan pengembangan dirinya. Ya memang hari sabtu dan minggu libur, tapi libur 2 hari menurutku tidak cukup untuk membayar lelah selama 5 hari tersebut. Saya pikir orang bekerja kantoran atau mahasiswa aktivis saja tidak sampai secapek itu. Lha ini anak sekolah yang hanya mempelajari teori yang nanti harus meneruskan ke jenjang universitas untuk bisa ‘berguna’ harus mengorbankan masa bermainnya demi sistem pendidikan masa kini. Mungkin memang terkesan hiperbolis tentang deskripsi waktunya, tapi paling tidak itu yang aku ketahui dari beberapa sekolah yang menerapkan 5 hari sekolah.
Findlandia saja yang sudah diakui sebagai negara dengan praktik pendidikan terbaik di dunia hanya menggunakan 5 jam perhari di sekolah dan tanpa ada pekerjaan rumah yang sering (Walker, 2017). Dengan mengurangi beban yang ada disekolah diharapkan anak-anak memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengisi tenaga di rumah dan keluarga. Selain itu anak-anak juga mempunyai waktu untuk mengasah kreatifitasnya menjadi apapun yang dia inginkan, tentu dengan pengawasan orang yang lebih tua. Sehingga anak-anak akan lebih fokus sekolah karena memang sedikit materi dan sedikit waktunya sekaligus juga tetap bisa mengembangkan kompetensi unik dirinya di luar lingkungan sekolah.
3. Memaksimalkan pembelajaran kreatif
Pembelajaran jaman kini sepertinya hanya bisa didengar dari kejauhan saja, tanpa bisa dilihat dan dirasakan momen belajarnya. Metode ceramah sangat populer digunakan sejak bertahun-tahun karena memang merupakan model pembelajaran yang paling mudah dan tanpa modal sekaligus bisa menyampaikan banyak materi dalam waktu yang singkat. Namun ketika materi pembelajaran dikurangi, para rekan guru tidak takut lagi untuk ketinggalan materi jika ingin memberikan pembelajaran kreatif di kelas. Dengan memodifikasi pembelajaran dengan berbagai strategi dan metode tentu anak-anak akan semakin semangat dan senang dalam belajar di sekolah. Efek positif psikologis ini tentu akan berdampak positif juga bagi semuanya. Anak-anak akan semakin paham dengan pembelajarannya karena memang dibawakan secara menyenangkan, sedangkan guru juga santai karena tidak takut akan ketinggalan materi karena mereka yang menentukan sendiri materinya sampai mana.
4. Membuat ujian sendiri yang berbasis kompetensi
Evaluasi pembelajaran sangat penting untuk menguji pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan sebelumnya. Tetapi hal ini tidak efektif lagi ketika yang diujikan dan yang diajarkan berbeda. Seharusnya setiap sekolah secara independen membuat soal sendiri untuk murid-muridnya sendiri karena sebenarnya guru sendiri yang paham bagaimana karakteristik siswanya. Dan mungkin bagi beberapa siswa yang kesulitan dalam menulis maka diadakan ujian praktik ataupun ujian lisan asalkan sang anak bisa mengekspresikan pemahamannya terhadap materi pelajaran. Jika saja ujian dilakukan seperti ini sangat sedikit siswa yang akan mendapatkan nilai jelek akibat ketidaksesuaian tingkat materi dan level kesulitan soal ujian.
5. Perbanyak kegiatan peminatan sesuai dengan karakter siswa atau visi masing-masing sekolah
Setiap siswa adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda bukannya barang pabrik yang semuanya akan sama. Alangkah baiknya perbedaan siswa ini diakomodasi dengan berbagai kegiatan sehingga anak-anak semakin mahir dengan kemampuannya. Sehingga sekolah tidak hanya belajar perihal teoritis belaka namun juga belajar banyak terkait hal-hal psikomotorik dan afektif. Ketika setiap sekolah mempunyai program keren pilihan sekolah bagi siswa akan beragam menurut karakteristik siswanya.
6. Sekolah secara aktif dan rutin memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang arah pendidikan yang efektif dan ideal.
Sekolah tentu tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada dukungan dari masyarakat dan orang tua murid. Oleh karena itu sangat perlu diadakan semacam seminar atau pelatihan terkait pendidikan anak serta parenting. Ketika pandangan sekolah dan orang tua sama niscaya program pendidikan dan pengembangan anak akan maksimal.
Semua saran-saran di atas memang tidak ada yang sejalan dengan aturan dinas, artinya bagi yang ingin menerapkannya harus berani untuk berhadapan langsung dengan para pengawas, asesor, supervisor dll. Tulisan ini tidak menyerang siapa pun, hanya memberikan gambaran nyata tentang apa yang aku pikirkan tentang arah pendidikan kita.
0 Comments: