UN Tidak Penting Lagi: Tren Ujian Nasional 2018 - Perspektif Kang Siddicq

UN Tidak Penting Lagi: Tren Ujian Nasional 2018 - Perspektif Kang Siddicq

Ujian Nasional tidak sepenting dulu, namun tetap menjadi momok paling menakutkan bagi siswa dan orangtua

Ujian Nasional yang diadakan sejak tahun 1950 dan menjadi ujian penentu nasib selama belajar di jenjang sekolah sejak tahun 2005 tapi sekarang sudah tidak penting lagi, bahkan jika kita baca kebijakan nasional mungkin akan dihapus juga. Tahun 2015 lalu dibawah pemerintahan Jokowi, Anis Baswedan membuat kebijakan untuk menghapus UN dari syarat kelulusan yang sebelumnya diberi porsi 40%. Hal ini didasari karena mapel-mapel UN yang terlalu dianggap penting nantinya akan menjadi penentu kelulusan sedangkan mapel lain dikesampingkan bahkan dianggap tidak penting. Padahal hakekatnya semua mata pelajaran memiliki probabilitas kegunaan yang sama di kehidupan. Bahkan potret nilai dari mapel UN sangat tidak cukup untuk melihat kesuksesan siswa setelah lulus. Sungguh, di kehidupan bermasyarakat tidak akan ditanya berapa nilai bahasa inggris kalian saat UN. Tidak juga ditanya rumus logaritma dan matriks ketika beli di toko kelontong. Ciri-ciri hewan memamah biak juga tidak dibahas saat kita ngobrol ronda malam di masyarakat. Bukannya saya mengkerdilkan pengetahuan, hanya jangan terlalu membesar-besarkan sebagian kecil ilmu pengetahuan dan menganggapnya penting sekali. Masih banyak ilmu pengetahuan yang lebih pragmatis dan berguna bagi masyarakat dibanding angka angka yang tertulis di selembar kertas ijazah. Jadi, penentu kelulusan sekarang adalah hasil USBN, ujian praktek serta akumulasi nilai kognisi, afeksi dan psikomotorik selama di sekolah. Cara ini tentu lebih manusiawi daripada hanya dengan 4 hari ujian.

Pelaksanaan ujian nasional yang sudah berbasis komputer secara nasional juga sebenarnya mengurangi kesakralan UN itu sendiri. Dulu berkas-berkas ujian di cetak dan didistribusikan melalui kurir yang harus melewati gunung, lembah dan lautan dulu sebelum bisa sampai ke tangan para siswa. Proses produksi dan distribusinya juga melalui pengawasan dan pengamanan dari pihak berwajib yang ketat sehingga meminimalisir bocornya soal dan kunci jawabannya. Namun pada akhirnya sebenarnya masih ada saja kasus bocornya soal dan kunci jawaban dengan harga fantastis setiap tahunnya. Dulu saya sendiri sempat tergiur pengen beli kunci jawaban seharga ratusan ribu waktu SMP, namun pada akhirnya saya dan teman-teman sadar diri kalau itu adalah hal yang salah dan bukan sesuatu yang patut dibanggakan.

Zonasi, makhluk baru yang dilahirkan menteri pendidikan pada tahun 2017 lalu yang bertujuan menghapuskan istilah "sekolah favorit" dimana menyerap semua siswa dengan input yang bagus-bagus. Sehingga siswa yang nilai UN nya dibawah selalu masuk ke sekolah bawah dan kecil. Skema seperti ini jika diteruskan tentu pendidikan di Indonesia tidak akan maju. Kebijakan ini sebenarnya bagi sebagian siswa berhasil menurunkan minat dan semangat belajar UN dan USBN. Padahal tahun-tahun sebelumnya belajar mata pelajaran UN sangat diminati hingga ditambah jam tambahan berupa les diluar sekolah. Perihal Zonasi akan kita bahas dalam artikel yang berbeda setelah kebijakannya resmi keluar, mungkin setelah UN selesai. Intinya Zonasi secara tidak langsung juga berdampak bagi motiviasi siswa saat mengerjakan UN karena pertimbangan masuknya sekolah bukan lagi nilai yang menjadi pertimbangan, tapi jarak antara sekolah dan tempat tinggal siswanya. Sehingga mulai muncul anggapan bahwa UN tidak penting lagi.



Namun ditengah-tengah anggapan ketidakpentingan dan ketidaksakralan UN masih ada siswa dan orangtua yang mendewakan UN. Sekolah dari pagi hingga sore, dilanjutkan les sampai malam, dan belajar di rumah sebelum tidur pun dilakukan oleh sebagian siswa. Hal ini bertujuan 1, mendapatkan nilai UN yang memuaskan walaupun harus dengan berbagai macam cara. Jutaan rupiah dikeluarkan, keringat pagi hingga malam bercucuran, dan waktu anak-anak bermain dirampas hingga setres hanya untuk nilai UN. Untuk sekedar Informasi, sejak tahun 2007 ada 11 anak yang meninggal karena UN, 8 diantaranya karena bunuh diri dan sisanya karena setres hingga meninggal. (berita selengkapnya baca link ini). Ini adalah bukti bahwa UN pernah menelan korban jiwa.

Zaman sekarang soal dan berita acara sudah dikirim dari pusat melalui jaringan internet dan sudah sampai ke sekolah dalam hitungan detik saja. Acara produksi dan distribusi yang memakan biaya fantastis sudah sangat berkurang. Kebocoran soal dan jawaban sangat bisa ditanggulangi karena soal ditampilkan acak nomornya dan bisa berbeda setiap siswa, token akan berubah setiap 10 menit sekali. Jadi, kecurangan demi kecurangan lambat laun bisa dikurangi dari sisi sistem. Ini adalah berita gembira bagi siswa yang awalnya memang jujur dan berjuang, tapi adalah kabar buruk bagi siswa yang malas dan terbiasa mencontek. Mereka bisa mati kutu di depan komputer dan tidak ada yang ditanya maupun kunci jawaban bocoran hasil membeli dari calo. Belum lagi soal-soal UN yang semakin tahun semakin sulit

Tren UN 2018 dan seterusnya

Sudahlah, ini hanya ujian standarisasi yang sebenarnya pendidikan Indonesia belum juga mencapai standar secara nasional. Bukan penentu hidup, bukan juga penjamin kesuksesan kalau memang nilainya bagus. Jika kita melihat Tren 2018 UN yang dulu dipuja-puja dan merupakan ujian yang sakral semakin lama semakin ditinggalkan lebih-lebih sekarang ada anggapan tidak penting juga. Selain itu sekolah-sekolah swasta yang laris diminati masyarakat juga sekolah yang kreatif serta inovatif secara nyata memberikan dampak positif kepada siswanya. Tidak hanya sekedar sekolah saja namun ada tambahan soft skill maupun hard skill tambahan seperti sekolah berbasis keagamaan, sekolah alam, sekolah multikultural, sekolah inklusif, sekolah bahasa, sekolah berkurikulum internasional dan lain-lain. Masyarakat semakin cerdas menentukan arah pendidikan bagi putra-putrinya. Nilai yang berbasis angka tidak lagi penting, perubahan sikap, moral, karakter serta implementasi pengetahuan menjadi hal utama pertimbangan memilih sekolah. Jika sekolah-sekolah yang "katanya favorit" tidak mau merubah paradigmanya, lama-kelamaan akan bangkrut dan kalah dengan sekolah swasta baru yang inovatif dan kreatif.
Beradaptasilah, maka engkau akan selamat dari kejamnya dunia. Jerapah bisa selamat dari kepunahan karena dia beradaptasi dengan memanjangkan lehernya sehingga tetap bisa makan. Jika saja dulu jerapah tidak beradaptasi mungkin sekarang kita hanya mengenal fosilnya. Sama halnya dengan sekolah-sekolah yang sekarang mengedepankan masukan dari nilai UN dan memasarkan sekolahnya dengan prestasi nilai UN. Jika saja mereka tetap bertahan di paradigma tersebut maka lama-kelamaan hanya tersisa gedungnya saja. Ya.... semoga pemerintah memikirkan nasib sekolah tersebut lebih lanjut dengan mengoptimalkan Kurikulum pembelajaran aktif berbasis siswa serta mengadakan ujian yang berperikemanusiaan adil dan beradab.
Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: