Karena Kebijakan Zonasi Jangan Sampai Anda Salah Pilih Sekolah “yang katanya” Favorit

Karena Kebijakan Zonasi Jangan Sampai Anda Salah Pilih Sekolah “yang katanya” Favorit


Tahun 2019 adalah tahun kedua dilaksanakannya kebijakan PPDB dengan model zonasi di Indonesia. Kebijakan nasional ini diartikulasikan berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing, kalau yang SMA dibebankan pada provinsi sedangkan SMP ke bawah dipegang setiap kabupaten atau kota. Tujuan ideologisnya adalah untuk pemerataan peserta didik baik dari sisi lokasi tempat tinggal dan nilai UN. Sehingga anak-anak yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah akan lebih mudah untuk mencari sekolah yang dekat tanpa memedulikan nilai UN lagi. Selain itu nilai UN yang masuk ke dalam suatu sekolahan bisa jadi bervariasi mulai dari yang terendah hingga tertinggi. Jarak antar nilai bisa jadi bervariasi dan akhirnya pemerintah mengharapkan tidak ada sekolah yang secara inputnya semuanya tinggi dan sekolah yang lain hanya menerima input yang rendah dari sisi nilai UN. Tapi memang kenyataan dimasyarakat dan di lapangan tidak seindah apa yang dibayangkan para kaum idealis.

 Semenjak UN tidak dijadikan bahan kelulusan sejak 4 tahun silam ternyata paradigma bahwa kecerdasan adalah nilai belum juga berubah. Banyak sekali masyarakat yang masih menilai kalau nilai UN nya tinggi adalah pintar dan sebaliknya jika dia nilai UN nya jelek langsung dicap anak yang bodoh. Karena sudah berulang kali saya sampaikan bahwa kecerdasan itu sangat luas dan tidak terpaku pada 4 nilai ujian nasional saja. Kembali ke zonasi, bahkan dengan adanya zonasi (level SMP khususnya di daerah Bantul, Yogyakarta) malah memperkuat peran nilai UN sebagai indikator kecerdasan yang menentukan bisa masuk ke sekolah mana. Bagaimana tidak ketentuan jalur zonasi adalah penambahan nilai zonasi untuk calon siswa yang akan sekolah lebih dekat dengan rumahnya. Misalnya akan ditambah 40 untuk calon siswa yang satu kecamatan dengan calon sekolahnya, kemudian ditambah 30 untuk yang masih satu zona dan ditambah 10 bagi yang masih menginginkan sekolah di kabupaten Bantul. Memang kebijakan ini memperkuat niat anak untuk sekolah yang 1 kecamatan atau paling tidak pada 1 kabupaten. Namun pemerataan nilai UN tidak bisa direalisasikan jika seperti ini. Masih ada saja sekolah yang “katanya” favorit atas label dari masyarakat pada sekolah-sekolah yang menerima input paling tinggi. Sedangkan sekolah selain itu dicap dengan sekolah buangan yang menerima siapa saja yang masuk. Sebenarnya menurut pak munif chatib (penulis buku Sekolahnya Manusia the series) bahwa kasta tertinggi dari semua sekolah jika dilihat dari penerimaan peserta didik baru adalah jika sekolah tersebut mau dan mampu menerima siapa saja yang ingin masuk tanpa membedakan satu faktor apapun. Artinya dia bisa memfasilitasi semua jenis karakteristik siswa. Berat, tantangan, ribet, sulit, memang iya. Tapi inilah dunia pendidikan. Bertanggung jawab mendidik seluruh masyarakat tanpa memandang siapa, justru malah kalau memang sekolah itu benar-benar sekolah favorit dia bisa mendidik murid yang inputnya rendah tapi kemudian bisa menghasilkan output yang bagus. Sehingga dia betul-betul ada perubahan yang nyata. Kalau hanya mau menerima yang pintar-pintar kemudian menghasilkannya juga cerdas-cerdas tidak ada yang mengejutkan.

Zonasi menurut saya secara tujuan idealnya bagus, tapi memang butuh banyak direvisi lagi agar semuanya bisa masuk sekolah tanpa ada yang takut oleh apapun. Semuanya bisa sekolah dengan bebas karena memang setiap sekolahan tidak banyak yang berbeda, apalagi sekolah negeri. Semuanya bisa sekolah dengan kemampuan seperti apapun karena semua sekolah sudah menerima semua kondisi siswanya. Dan satu lagi yang saya inginkan sejak dulu, Nilai UN sudah tidak terlalu dianggap penting karena memang hanya sebagai pemetaan nasional. Bukan sebagai indikator kelulusan, bukan sebagai syarat masuk sekolah. Syarat masuk sekolah pakai semacam tes tapi hanya untuk pendataan bukan untuk seleksi. Tapi mau sampai kapan pendidikan Indonesia seperti ini, kita tunggu saja.




Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: