Paradigma Lingkaran Setan Sekolah-Sekolah Kecil: Siapa yang Salah?

Paradigma Lingkaran Setan Sekolah-Sekolah Kecil: Siapa yang Salah?


Beberapa hari lalu memang saya dicurhati oleh alumni sekolah kecil di daerah Bantul yang katanya trauma tidak ingin meneruskan SMA/ SMK/ MA lagi karena trauma kepada sekolah-sekolah kecil. (artikel lebih lanjut baca di link ini). Terus hal ini membuatku ingin menulis betapa mirisnya dunia pendidikan di negeri kita terutama bagi sekolah-sekolah swasta dan negeri. Sebenarnya salah siapa jika sekolah kecil tetaplah kecil setelah beberapa tahun berdiri tanpa ada progres yang signifikan? Apakah salah sekolahnya yang memang kurang giat berinovasi, atau salah masyarakat yang kurang mempercayakan anak-anaknya untuk sekolah di sana, atau bahkan salah inputnya yang secara potensi lebih rendah jika dibanding sekolah-sekolah besar, atau justru salah pemerintah karena belum mampu untuk meratakan pendidikan baik di level regional maupun nasional. Orang Indonesia, memang suka sekali mencari-cari kesalahan bukannya memberi solusi. klasik. Tapi dari pemetaan masalahlah kita bisa berdiskusi secara rasional dan objektif sehingga solusinya bisa kita cari bersama. Hal ini sempat menjadi bahan diskusi kita di sekolah dan warung kopi terkait bagaimana nasib sekolah-sekolah kecil jika terus begini, siapa yang patut disalahkan dan siapa yang seharusnya bergerak?

Akhir-akhir ini semakin banyak saja sekolah-sekolah swasta yang didirikan menurut ideologinya pendiri masing-masing walaupun sebenarnya mereka tidak mempunyai dasar pendidikan yang kuat. Padahal sebenarnya jika aku melihat daerah Bantul, Kota Jogja dan Sleman sebenarnya sudah cukup banyak sekolah negeri maupun swasta yang sudah mapan dan siap menampung permintaan masyarakat. Namun tetap saja ada sekolah-sekolah baru bermunculan bahkan ada yang bermodal “nekat” dalam artian sebenarnya belum cukup fondasi ideologi, sistem, sarana dan prasarana dan SDM namun tetap melakukan penerimaan siswa baru dengan keyakinan “nanti sistem bisa kita buat sambil jalan, yang penting berdiri dulu.” Alih-alih menjadi sekolah besar dan sukses, banyak sekolah swasta dengan persiapan yang tidak matang justru malah buang-buang energi dan bisa jadi menghasilkan lulusan yang setengah matang. Maksudnya ideologi dasarnya tidak tersampaikan ditambah pelajaran formalnya masih terbengkalai kemungkinan terburuknya seperti artikel yang kemarin, lulusannya mengidap syndrome schoolphobia (baca versi lengkapnya disini). Pasalnya persoalan pendidikan bukanlah hal sepele yang tinggal jalan tanpa perlu perencanaan, sekolah adalah hal yang sangat kompleks bagaikan kita mengontrol negara kecil dengan siswa menjadi rakyatnya. Tapi ada juga sekolah yang fondasinya kuat dan perjalanannya juga mulus, sekolahnya sudah mapan sistemnya tinggal berjalan mengikuti irama. Sekali lagi, siapa yang harus andil menyukseskan sekolah rintisan seperti ini?
Baiklah, kita telisik satu-persatu.

Kurangnya Inovasi Sekolah

Dari berbagai pemaparan di atas mungkin pembaca pertama kali menganggap yang paling pantas untuk disalahkan adalah sekolah. Bisa jadi, karena kita lihat sekolah-sekolah yang stagnan progresnya adalah sekolah yang dari awalnya memang konsep dan tujuannya belum jelas mau dibawa ke mana. Sistem sekolahnya juga belum ada yang unik dari sekolah lain, bahkan mungkin lebih buruk jika dibandingkan dengan sekolah negeri. SDM yang ada di dalamnya juga bukan tipe-tipe orang aktivis yang siap menerjang berbagai rintangan dengan berbagai jenis permasalahan. Sehingga sekolahnya hanya menduplikasi sekolah-sekolah lain yang mapan sejak dahulu kala. Dasarnya saja belum jelas, tujuan saja belum punya mana bisa berjalan dengan lancar? Jika kondisinya seperti ini mungkin tinggal menunggu dinas untuk mencabut izinnya (uuuups....).
Saya juga menemui beberapa sekolah rintisan yang mempunyai ideologi cukup jelas, visinya juga bagus namun tetap saja belum maju bahkan nilai keunikan sekolah juga ada. Apa kira-kira penyebabnya jika sekolah sebenarnya sudah melakukan inovasi tapi tetap saja stagnan? Jawaban yang paling mudah dijawab adalah kepercayaan masyarakat yang masih minim yang berdampak pada image masyarakat.

Masyarakat yang Kurang Percaya “jangan sekolah di sana, karena ......”

Membangun paradigma sangatlah sulit, apalagi jika sudah tersebar jeleknya walaupun sekali. Sekolah rintisan sering kali dihindari masyarakat dengan anggapan belum mapan sekolahnya, anak-anaknya nakal, sering berkelahi, terlibat tawuran, sekolahnya belum akreditasi, UN-nya masih numpang, nilai UN nya jelek, bayarnya terlalu murah, bayarnya terlalu mahal, programnya standar, tidak mendidik murid dengan baik dan masiiiiiih banyak lagi. Mungkin masih ada 1001 nyinyiran netizen dan masyarakat luas terkait sekolah-sekolah rintisan di sekitarnya sebelum mempertimbangkan untuk mempercayakan anaknya bersekolah di sana. Bahkan tidak melirik sama sekali, langsung daftar ke sekolah negeri yang sudah mapan, baru kalau tidak diterima cari sekolah-sekolah kecil. Klasik.
Memang seperti ini yang terjadi di masyarakat, mereka secara alamiah menilai sekolah dari luarnya, dari kelakuan siswa-siswinya selama di sekolah maupun di rumahnya. Jika saja mereka berbuat jelek sekali saja, benak itu yang akan berbekas walaupun sudah diperbaiki dengan 10 keshalehan. Padahal tidak bisa dipungkiri roda pendidikan sekolah swasta adalah dari banyaknya siswa. Semakin banyak siswa, semakin besar pula dinamika sekolah. “Siswa saja tidak ada, bagaimana kita bisa memajukan sekolah” kata sekolah rintisan. Terus masyarakat membalas “Bagaimana kita mau menyekolahkan anak kita ke sana kalau sekolahnya saja tidak jelas bentuknya”. Sebenarnya sampai disini lingkaran setan sudah terbentuk dan saling menyalahkan. Masyarakat yang menuntut sekolah untuk berbenah diri dulu sebelum bisa dipercayai. Sedangkan sekolah meminta masyarakat untuk memberinya kesempatan dengan mendaftarkan anak-anaknya disekolah baru bisa berbenah menjadi sekolah yang lebih berjaya. Siapa yang mau mengalah dulu biar sekolahnya maju?


Inputnya saja rendah, bagaimana outpunya bisa tinggi?

Lingkarannya diperluas dengan rata-rata nilai siswa yang masuk ke sekolah rintisan adalah nilai-nilai kecil yang awalnya mendaftar ke sekolah negeri yang “katanya” favorit namun tidak masuk. Kasarnya bisa kita sebut dengan sekolah dengan siswa buangan. Karena kepercayaan masyarakat yang rendah, maka yang masuk ke sekolah rintisan ini hanyalah siswa dengan kecerdasan yang di bawah rata-rata. Kemudian sekolah bilang “inputnya saja rendah, bagaimana outputnya bisa tinggi?”, masuk akal juga sebenarnya. Jika awalnya saja sudah rendah misalkan 4 untuk naik menjadi 6 atau 7 itu adalah prestasi yang bagus sekali itupun kalau naik. Namun masyarakat hanya melihat hasil akhirnya tanpa melihat input awalnya. Mudah saja bagi sekolah yang “katanya” favorit yang sudah mendapatkan input 9 untuk mengubah menjadi 9.5 bahkan 10. Sekali lagi, masyarakat luas hanya melihat outpunya saja. Walaupun sebenarnya angka hanyalah angka, tapi seperti inilah gambaran masyarakat sekarang yang masih memuja angka. Saya juga kurang setuju sih sebenarnya dengan pemujaan angka yang keterlaluan ini walaupun angka ini juga merupakan pencerminan pemahaman siswa. Dari sekolah yang kurang berinovasi melahirkan kepercayaan masyarakat yang menurun dan akhirnya anak-anak dengan nilai rendah mendominasi siswa disekolah rintisan ini, endingnya sekolahnya tidak berubah-ubah. Tetaaaaap saja seperti itu, terus siapa yang bertanggung jawab pemerataan nilai? Ya pemerintah yang salah.


Pemerintah belum adil meratakan pendidikan

Lingkaran setannya bertambah luas lagi dengan adanya peran pemerintah yang dirasa kurang bisa meratakan siswa-siswa berprestasi yang sementara ini hanya mengumpul di sekolah itu ituuuu saja. Sekolah-sekolah rintisan tidak kebagian siswa yang mendapatkan nilai UN lebih rendah jika dibandingkan sekolah negeri. Kejadian ini langgeng dan tidak berubah semenjak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hal ini menurut hemat saya disebabkan karena kita masih terlalu mendewakan UN sekaligus masyarakat masih memiliki paradigma bahwa ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang “katanya” favorit walaupun mahal dan jauh, yang penting anaknya belajar di sekolah yang “katanya” favorit. Selain itu pemerintah juga lebih mendorong kemajuan sekolah-sekolah negeri daripada sekolah rintisan swasta. Akhirnya sekolah-sekolah negeri yang “katanya” favorit semakin lama semakin bagus dan besar sedangkan sekolah swasta yang tidak bisa beradaptasi akan hancur digilas waktu.
Sebenarnya mulai tahun ini (2018) pemerintah sudah mencanangkan program zonasi  untuk Penerimaan Peserta Didik Baru. Maksud pemerintah akan program ini supaya anak-anak bisa belajar di sekolah yang paling dekat dengan rumahnya. Kebijakan yang dicanangkan antara lain siswa dengan radius 500 m dari sekolah wajib diterima berapapun dan bagaimanapun kondisinya. Kemudian untuk anak yang bersekolah di kecamatan yang sama dengan alamat KK-nya maka nilai UN-nya ditambah 40, terus yang masih satu zona (biasanya 3 kecamatan) ditambah 30, kemudian untuk yang masih sekabupaten ditambah 20. Maksud pemerintah baik sebenarnya, namun tetap saja masih berbasis nilai. Sekolah negeri dan “katanya” favorit tetap saja mendapatkan input yang bagus dan tidak terlalu banyak berubah persebarannya. HHmmmm..... peran pemerintah untuk meratakan sebaran peserta didik patut kita apresiasi, namun untuk tahun ini tampaknya belum berhasil sepenuhnya. Semoga tahun besok (2019) sudah lebih baik dan semakin merata persebarannya.

Dari mana kita harus memutus lingkaran setan ini?

Kalau kita menunggu pemerintah untuk bergerak memperbaiki sistem mungkin bisa jadi sekolah-sekolah swasta keburu kehabisan siswa. Terus siapa lagi yang pantas untuk disalahkan selanjutnya? Pihak universitas karena belum bisa cukup mempengaruhi sekolah-sekolah lingkungannya untuk maju, sebab kita ketahui bersama kalau universitas adalah pusat kemajuan peradaban masa kini. Atau justru sekolah swasta seharusnya ditiadakan karena sesungguhnya pendidikan adalah tanggungan pemerintah. Orang Indonesia begitu baik mau mendidik anak orang yang sebenarnya tanggungan pemerintah. Atau aku harus bagaimana atau kamu yang harus bagaimana?
Berawal dari Sekolah rintisan kecil yang kurang memiliki modal siswa namun masih bingung mau mencari kemana, sekolah tetap menuntut masyarakat mempercayakan anaknya untuk mencoba sekolah disini. Namun keinginan setiap orang tua pasti ingin memberikan anaknya yang terbaik untuk pendidikan dan masa depannya, mana mungkin mereka mencoba-coba untuk anaknya. Masyarakat menuntut sekolah untuk memperbaiki diri dulu baru masyarakat percaya sepenuhnya. Sekolah kembali menjawab, “bagaimana kita bisa berbenah diri kalau input kami saja jelek-jelek. Dari mana kita bisa berprestasi?”, pemerataan murid harusnya menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah tahun ini sudah mencanangkan program zonasi PPDB agar anak bersekolah ke sekolah-sekolah yang paling dekat dengan rumahnya, namun tetap saja tahun ini bisa kita nilai kurang maksimal efeknya. Akhirnya pemerintah bilang “ya harusnya sekolah yang kreatif untuk mencari murid dan memperbaiki sistem dan kondisi sekolah”. Dan seperti itu terus siklusnya sampai ada yang mau mengalah. Pertanyaan besarnya,


SIAPA YANG MAU MENGALAH UNTUK BERBENAH DIRI???

Sebenarnya lingkaran ini bisa diputus oleh siapa saja. Artinya siapapun Anda, dimana posisi Anda, bagaimana peran Anda, Anda pasti bisa memutus lingkaran ini. Misal saja Anda adalah orang tua dari anak yang cerdas dan berprestasi akan menyekolahkan anaknya, bisa saja Anda memotong lingkaran ini dengan cara menyekolahkan anaknya ke sekolah rintisan yang Anda percayai. Atau Anda adalah Menteri Pendidikan atau orang yang bergerak dibawahnya, bisa jadi Anda membuat kebijakan atau sesuatu guna memajukan sekolah swasta yang baru merintis. Atau bahkan Anda adalah Kepala Sekolah atau guru yang ada di sekolah swasta rintisan, bisa jadi Anda memegang kunci pecahnya lingkaran setan ini. Jika saja sekolah swasta Anda menjadi bagus dan mempunyai sistem yang kuat sehingga dipercayai oleh masyarakat. Niscaya lingkaran ini akan hancur dengan sendirinya.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk para pejuang-pejuang pendidikan, khususnya di sekolah swasta yang baru merintis. Mari kita selamatkan dunia pendidikan Indonesia dengan ideologi yang kita yakini dari sekolah kita masing-masing. Saya percaya bahwa kekuatan keikhlasan dan perjuangan kita semua akan berbuah manis di masa mendatang jika kita saat ini berjuang betul-betul untuk terus memajukan pendidikan Indonesia. Majulah sekolah Swasta, jangan berhenti ditempat, buatlah inovasi-inovasi keren, bangunlah infrastruktur yang megah, kuatkan SDM yang ada, pupuk jiwa loyalitasnya dan capai cita-cita yang kalian idam-idamkan sebagai sekolah swasta. Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi?
Salam Pendidikan. Salam Prestasi....

Previous Post
Next Post

post written by:

1 komentar:

  1. Mungkin aja kekurangan murid jg karena berhasilnya sistem KB di indonesia ini kk 😹

    Mungkin setlh ini q bakaln mersakan hal yg sama k
    Bismillah salam dalam pendi... Salam perjuangan 💪

    BalasHapus