Dulu kita mengkritik peran sekolah karena standarisasinya, tapi sekarang kita malah bagian dari praktiknya
Dulu…...
Ketika kuliah di UIN jogja, aku ikut gabung dalam suatu organisasi kampus yang fokus di bidang pendidikan, KSiP namanya. Sering sekali kami diskusi rutin ala mahasiswa, biasalah pikiran dan paradigma yang masih penuh dengan idealitas. Bisanya cuman kritik sana, kritik sini, ngrasani pendidikan Indonesia jadi hobi kami setiap ketemu. Apapun yang salah, kita kritik dengan sudut pandang mahasiswa sok tahu. Seakan-akan kita yang menjadi menteri pendidikan kala itu.
Pernah suatu sore ketika kami diskusi, kami membahas tentang pola pendidikan indonesia yang sudah tidak sehat lagi. Karena sekolah sudah seperti pabrik pencetak batu bata. Yang semuanya diukur dalam 1 ukuran yang sama, kotak, kecil, berwarna merah, utuh dan tidak patah. Kalau ada batu bata yang berbeda dianggap sebagai produk yang cacat dan tidak lolos uji kualitas. Praktik pendidikan yang terjadi sudah seperti demikian sejak lama dan ini tidak sehat.
Sekolah hanya mementingkan muridnya pandai dan menguasai semua materi dalam semua mapel. Ukuran dari semua itu hanya dengan 1 hal, ujian berskala nasional atau sebut saja UN. Jika hasil akhir di UN bagus, sudah pasti dicap sukses anak itu. Tapi jika hasil UN nya dibawah rata-rata, habis sudah anak itu. Mendapat cercaan dari segala arah, orang tuanya marah, temannya kecewa, sekolahnya malu, anaknya sendiri ikutan stres karena sulit cari sekolah. Sungguh naas sekali nasib anak itu, waktu sekolah 3 tahun tapi hanya ditentukan dengan 4 hari mengerjakan 180 soal.
Diskusi itu kira kira terjadi tahun 2015, ketika pak anies Baswedan yang menjadi menteri pendidikan kalau tidak salah. Ketika itu pak anies sudah melemahkan posisi UN sebagai penentu kelulusan, tapi tetap saja itu masih menjadi momok. Ukuran suksesnya masih sama, mengerjakan soal pilihan ganda.
diskusi mahasiswa itu terjadi cukup alot dan cukup lama. Sebenarnya hampir semua anggota setuju praktik itu salah, tapi solusi yang ditawarkan sepertinya tidak ada yang masuk akal dan bisa dipraktikkan. Ada yang betul betul dihilangkan, tidak usah ada UN. Tapi nanti malah akan menurunkan minat belajar murid. Ada yang membebaskan ke wilayah sekolah dengan ujian yg berbeda-beda, nanti jika dia ingin sekolah ke luar daerah tidak bisa sama kualitasnya. Ada juga yang ujiannya di sekolah akan mendaftar, nanti jadi ada kastanisasi sekolah unggulan dan tidak. Dan masih banyak lagi, tidak ingat aku. Intinya semuanya setuju kalau praktik standarisasi hanya akan mengungkung kreativitas anak. Menjadikan batu bata yang sama, karyawan yang sama. Tidak ada yang unik dan berbeda.
Sekarang ….
Kondisinya sudah berubah, yang dulu diskusi rutin mahasiswa di bawah tangga lobi fakultas, sekarang sudah tidak ada yang menjabat sebagai mahasiswa S1 semua. Aku sendiri menjadi kepala sekolah swasta di Bantul, ada yang menjadi wakil kepala sekolah di sleman, ada pula yang jadi guru sekolah swasta, beberapa diantaranya sedang menempuh jenjang S2, ada juga yang dapat LPDP, atau ada yang baru merencanakannya. Ada yang sudah menikah, ada yang baru merencanakan, ada pula yang masih galau. Kondisi sekarang sudah berbeda dengan 5 tahun lalu, dulu kita masih berangan-angan dengan segala idealitasnya. Tahunya hanya dari buku dan bangku kuliah, sekarang kita sudah merasakan asam garam kehidupan dan sudah benar-benar masuk di dunia pendidikan khususnya sekolah.
Walaupun kami sudah berbeda dunia, tapi tetap urusan ngopi, nongkrong malam tak pernah terlewatkan. Paling tidak sebulan sekali kita bertemu untuk membicarakan cinta dan mati, ngrasani kampus, negara hingga dunia. Ngopi pun tak cukup 1 jam, tidak jarang kita mulai jam 8 malam dan terkadang finishnya ketika adzan shubuh. Sungguh obrolan yang merindukan. Eh, malah salfok curhat masalah teman ngopi.
Nah, Salah satu topik ngopi kemarin adalah throwback diskusi kita ketika masih kuliah seperti yang dibahas di awal tulisan ini. Kita hanya bisa tertawa jika mengingatnya, yang dulunya gencar untuk menentang standarisasi buta. Sekarang kita adalah bagian darinya. Aku sebagai kepala sekolah seolah-olah menjadi manajer pabrik batu bata, temanku yang kuliah di jurusan PEP (Penilaian dan Evaluasi Pendidikan) sebagai orang yang membuat ukuran batu bata, dan kawan yang lain malah meneliti presisinya batu bata dengan penelitian sewaktu S1. Semua kawan ngopiku ternyata malah pendukung pembuatan batu bata yang memiliki ukuran sama dan rata.
Idealitas vs realitas
Setelah dipikir-pikir kita tidak bisa mempertahankan idealitas kita sewaktu di mahasiswa. Masih butuh waktu untuk melawan realita yang terjadi di dunia pendidikan ini. Tidak semudah itu menerapkan apa yang kita obrolkan sewaktu kuliah. Realita memang berat, dulunya kita menghujatnya sekarang malah menjadi bagian darinya.
Tapi sebenarnya dilubuk hati kami terdalam masih tersisa pikiran idealitas sewaktu kuliah dulu, hanya saja masih bingung bagaimana cara melakukannya.
Aku yang dulu awal-awal ketika menjadi kepala sekolah sangat semangat ingin menerapkan ilmu dan merubah wajah pendidikan menjadi semakin ideal. Berbagai teori di diskusi sore dan bangku perkuliahan sedikit sedikit kuterapkan. Pelatihan guru sering kulakukan, microteaching mengajar juga pernah, dosen dan para ahli kuhadirkan disekolah, pembiayaan aku rombak, kegiatan siswa aku tambahi. Tapi seiring berjalannya waktu ternyata tidak selamanya teori bisa sukses tanpa adanya adaptasi.
Aku pikir dengan mengaktifkan teori Multiple Intelligences yang dulu tak idam-idamkan bisa menyelesaikan masalah pabrik batu bata. Ternyata kembali lagi, teori tak seindah yang dibayangkan ketika praktik. Paradigma pendidikan inklusi penuh dengan aksesibilitas juga belum bisa terpenuhi. Praktik di sekolah dengan guru-guru tradisional tidak semudah bekerja dengan para mahasiswa yang terbuka dan mau belajar.
Bahkan guru-guru sendiri pun sudah terlihat enggan untuk berubah, segala yang kulakukan sejak 2 tahun lalu sepertinya tidak ada perubahan signifikan. Sekedar diajak diskusi juga mlempem, baca buku juga tidak atau bahkan sekedar lihat video tentang pembelajaran. Sudah seperti putus asa rasanya berjuang di dunia pendidikan yang tidak sesuai dengan idealitas apa yang kubangun selama ini.
Pilihan yang tidak ada pilihannya
Tapi mau bagaimana lagi pilihan sudah dipilih, jalan perjuangan sudah ditentukan, takdir harus dijalani. Pilihan berjuang di sekolah ini bukanlah pilihan, pilihan yang sesungguhnya adalah apakah mau berjalan apa adanya dan meneruskan tradisi pabrik batu bata. Atau berjuang melawan segala arus utama (anti mainstream) untuk melahirkan tradisi pendidikan yang sehat, kreatif dan inklusif.
Tidak hanya sekedar kata-kata ilmiah dan inspirasional yang dibutuhkan, dokumen bertumpuk tumpuk juga bukan solusi apalagi slogan motivasional belaka. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah nyata. Tujuan yang jelas, ditambah langkah teknis yang nyata.
Pandemi corona ini memberikan banyak pelajaran, although it cost everything. Siswa hanya dapat sedikit, ekonomi baru sulit, yang bayar sekolah juga susah, ditambah tuntutan untuk buat rumah, apalagi akan dibebani menjadi pengasuh pondok.
Banyak yang bilang kalau untuk memulai sesuatu baru memang perlu titik point dimana semua harus dihancur leburkan dulu. Baru bisa dimulai dengan semangat baru. Diibaratkan orang membangun rumah, lebih enak dan mudah kalau dihancurkan baru dibangun lagi daripada merenovasinya sedangkan kebutuhannya ingin mengubah banyak. Memang biayanya mahal, tapi akan lebih bagus. Seperti filosofinya Thanos (musuh avengers) yang ingin melenyapkan setengah populasi dunia dan membangunnya lagi.
Mari kita buat pendidikan Indonesia yang lebih sehat dan maju, sehingga anak-anak yang lulus lebih kreatif dan variatif. Berbeda-beda tapi tetap memiliki dasar yang kuat. Tidak seperti pabrik batu bata yang mencetak semuanya sama.
0 Comments: