Supervisi Pembelajaran Masih Fokus Pada Berkas, Bukan Kualitas Performa Guru dan Sekolah
Sebelum terjun di dunia sekolah
Dulu ketika aku sekolah, saya pikir pekerjaan guru hanyalah mengajar, menerangkan dan masuk kelas saja. Terus saat di perkuliahan aku baru tahu kalau guru itu juga harus belajar banyak tidak hanya tentang pelajarannya tapi juga filsafat, teori pendidikan dan perkembangan pendidikan secara umum. Tapi semenjak aku di sekolah beneran sebagai kepala sekolah, baru tahu kalau yang dipelajari di bangku kuliah tidak sepenuhnya dipakai, dan justru yang tidak ada di bangku kuliah malah dituntut disini.
Administrasi dan dokumentasi pembelajaran terutama yang aku heran. Ya memang ketika kuliah kita belajar juga tentang hal itu, tapi hanya sekedar lalu saja. Toh nanti formatnya juga akan berbeda karena template pemerintah selalu berubah, kata pak dosen dulu. Benar, dulu kita hanya sekedar tahu saja apa itu silabus, RPP, promes, prota, KKM dll. Hanya tahu saja kalau guru itu harus buat itu, formatnya demikian, tujuannya ini, fungsinya itu. Sekedar angan-angan belaka. Dan dulu doktrin dari pak dosen yang jauh lebih penting itu menguasai materi pembelajaran dan pemahaman murid, bagaimana kita transfer ilmu dan value dari materi itu. Dokumen itu hanya pendukung.
Saya mangamini itu dan juga memang sejalan dengan pikiranku kalau itu semua hanya pendukung. Dalam beberapa diskusi soreku dengan kawan kawan aktivis pendidikan juga pernah membahas tentang pembuatan dokumen yang bejibun itu hanya mempersibuk guru-guru, bukannya membantu pembelajaran. Makin mantablah saya untuk tidak fokus pada hal administratif melainkan fokus pada hal-hal esensial dan filosofis.
Tibanya di sekolah
Kenyataan di wilayah kampus dibandingkan dengan realita di sekolah dan lingkungan kedinasan jauh berbeda ternyata. Dinas pendidikan lengkap dengan seluruh jajarannya (pengawas sekolah dan LPMP) selalu menuntut banyak sekali berkas administratif yang dikumpulkan. Mulai dari perencanaannya, prosesnya seperti apa, hingga evaluasinya nanti seperti apa. Semuanya minta dibuatkan dokumentasi berkas bertumpuk-tumpuk, bahkan jika dikumpulkan dalam setahun, lebih dari 1 rim kertas habis hanya untuk seorang guru. Bayangkan jika ada 15 guru dalam sekolah kecil, berapa banyak berkas yang dibutuhkan? Dan apakah dinas menggunakan itu? Atau apakah guru sendiri menggunakan itu sebagai acuan mengajarnya? Saya rasa kok jawabannya tidak semua.
Siklusnya kira kira sekitar 4-6 bulan sekali pengawas datang ke sekolah untuk supervisi. Diawali dengan selembar kertas berisi instrumen supervisi 3 minggu sebelumnya. Mulai saat itulah para guru sibuk sampai lembur mengerjakan berkas yang "seharusnya" bisa mendukung dan membimbingnya selama setahun. Tapi kebanyakan para guru hanya mengerjakan seminggu sebelum pengawas sekolah datang. Ketika bu pengawas datang semua guru terus menyerahkan hasil jerih payahnya selama seminggu kemarin untuk dinilaikan. Bahkan masih ada juga yang masih proses mengerjakan. Fase ini pengawas tinggal melihat dan mengomentari sesekali atas dokumen bertumpuk tumpuk itu. Komentarnya kebanyakan berisi kesalahan template dokumen atau kurangnya salah satu aspek dalam dokumen itu. Menurutku hal-hal remeh yang tidak esensial. Setelah selesai pengawas membubuhkan tanda tangan di lembar penilaiannya. Setelah itu ya sudah, semua hanya kertas yang tersisa. Dokumen yang dilembur itu bukannya menjadi acuan mengajarnya tapi hanya dibiarkan bertumpuk dan berdebu. Bahkan dokumen dari 5 tahun lalu masih ada sampai sekarang… usang berdebu dan tidak berguna.
Kenapa dan kenapa ini terjadi?
Setelah saya pikir-pikir, dan merenungkan… apa sebenarnya salahnya berkas berkas ini? Sebenarnya jika dilihat butir instrumennya bisa berguna dan mendukung pemahaman siswa dan kesiapan guru. Tapi kenapa dokumen ini tidak pernah dikerjakan kecuali akan dilihat pengawas? Sebut saja silabus, program tahunan dan program semester. Idealnya dokumen itu kan memang wajib dan perlu ada sebelum pembelajaran berlangsung, persiapan yang matang itu sudah 50% kemenangan. Tanpa akan dicek pengawas guru yang ideal seharusnya sudah menyiapkan materi apa saja yang akan diajarkan, butuh waktu berapa lama, ujian berapa kali, ngajarnya dengan strategi apa, medianya apa, tujuannya apa, proyeknya apa dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi kenapa tidak dikerjakan sampai ada pengawas datang?
Terlalu banyaknya tuntutan berkas membuat guru malah sibuk ber-berkas-berkas ria. Sehingga para guru sudah malas duluan ketika melihat daftar berkas yang harus dilengkapi. Tidak jarang malah melupakan tugas utamanya, yaitu belajar dan mengajar. Ketika saya tanya kapan terakhir kali membaca buku? Banyak yang bilang kalau sudah tidak pernah membaca sejak skripsi selesai. Bacanya hanya baca buku pelajaran, tidak pernah lagi baca buku pendidikan, teori, novel, keagamaan atau bahkan filsafat. Mengapa tidak ada tuntutan guru yang disuruh membaca buku saja, bukan membuat dokumen bejibun.
Tugas utama mengajar juga terkadang tidak maksimal. Banyak siswa yang belum paham tapi langsung lanjut ke materi berikutnya. Banyak siswa yang dibawah KKM tapi masih tetap lanjut ke bab selanjutnya. Guru kemudian terkesan "mengajar saja" tanpa peduli anaknya paham atau tidak. Yang penting sudah menyampaikan materi.
Setelah saya pikir lagi, kelihatannya berkas yang diminta dinas sebenarnya kurang sinkron dengan kegiatan yang ada di sekolah. Disatu sisi pemerintah gencar menggalakkan sekolah merdeka, di sisi yang lain pemerintah menuntut standar yang sama di banyak hal. Sehingga fokus sekolah jadi terbelah, terkadang fokus dengan keunggulan sekolahnya, terkadang juga menuruti apa kemauan dinas. Kalau memang berguna untuk sekolah seharusnya itu semua dibuat pada waktunya kan…. Nyatanya tidak. Lha sekarang yang penting membuat berkas dokumennya atau kualitas pembelajaran yang berkualitas? Kalau memang ingin kualitas mengajarnya mantab dan anak-anak semakin paham, menurut saya bukan seperti ini caranya.
Supervisi harusnya berbasis performa, bukan dokumen
2 tahun saya berada di lingkungan sekolah, semakin kesini justru malah tuntutan dokumennya semakin menumpuk. Pak Menteri pernah menggagas RPP 1 halaman, ya... memang sekarang RPP nya sederhana. Tapi kelihatannya hanya itu saja yang disederhanakan. Sedangkan yang lain malah muncul berkas model baru dan semakin ribet saja. Secara teori dan dilihat sepintas dokumen tersebut memang bisa menilai seberapa ideal seorang guru mengajar. Tapi kenyataannya dokumen itu sangat bisa dimanipulasi, sehingga target guru ideal tidak tercapai. Ideal membuat berkas mungkin iya, ideal mengajarnya…. Hmm… masih perlu ditanyakan.
Guru ideal bukan tentang berkas, tapi tentang performa guru itu sendiri. Bagaimana performa guru selama di sekolah, bagaimana kesehariannya dan bagaimana pemahaman anak yang diajar. Itu semua justru lebih penting daripada sekedar tumpukan berkas. Memang menilainya lebih sulit, tapi efeknya jauh lebih mengena. Aku kemarin membuat 8 dimensi penilaian performa guru ideal yang menurutku bisa menghasilkan guru ideal betulan bukan hanya tentang berkas. Untuk lebih lengkapnya bisa lihat di konten "Masih Adakah Guru Ideal? coretan dinding sekolah".
Ringkasnya 8 dimensi itu adalah: Kehadiran di sekolah, perhatian kepada setiap anak, update informasi terkini, baca buku rutin, kepahaman anak, kemampuan menstimulasi kreativitas anak, kemampuan menyesuaikan materi mengajar, yang terakhir ada sedikit terkait dokumen pembelajaran.
Memang tidak bisa dipukul rata ideal untuk semua guru di semua sekolah, tapi paling tidak aku membuat dimensi evaluasi yang lebih luas sekedar berkas.
Memang lebih sulit implementasi penilaiannya, tapi guru semakin terpacu memperbaiki performa mengajarnya sepanjang tahun. Tidak hanya lembur 2 minggu untuk menjawab para pengawas dari dinas.
Memang kepala sekolah menjadi semakin ribet karena bertambah pekerjaannya. Memperhatikan dan menilai guru satu persatu. Tapi bukannya memang salah satu tugas dan tanggung jawabnya untuk menjadi supervisor?
Seharusnya dan idealnya memang guru itu diawasi dan dinilai kepala sekolah. Dan pengawas itu menilai dan mengawasi kepala sekolah. Karena yang paham betul kondisi guru di sekolah hanyalah kepala sekolahnya.
Pak menteri pendidikan sekarang sering menggembar-gemborkan merdeka belajar, sekolah merdeka, guru penggerak dan kepala sekolah penggerak. Tapi kalau selalu dibayang-bayangi kebijakan dinas yang terlalu ketat ya tidak jadi merdeka.
Tapi, apakah sesimpel itu untuk menjadi berbeda? Melakukan supervisi sendiri dan menentang kekuasaan dinas dengan segala dokumennya bukanlah hal yang mudah. Hanya orang tertentu dan sekolah tertentu yang kuat melawan dinas.
0 Comments: