Sudah sejak 2 Maret 2020 lalu di Indonesia tercatat 2 orang pertama yang terpapar virus Corona, Seketika itu juga seluruh warga +62 langsung heboh dan panik mulai dari para petani, guru, siswa, karyawan, pegawai kantor, apalagi tenaga medis dan pemerintah. Kejadian ini diperparah dengan media yang begitu masifnya memberitakan kasus Corona dari semua sisi. Mulai dari sisi medis, politik, sosial, ilmiah sampai konspirasi juga sempat muncul di media nasional. Kepanikan itulah yang membuat semuanya kacau, banyak sekali keputusan diambil tanpa pikir panjang dan terkesan terlalu terburu-buru. Beberapa kebijakan juga sepertinya hanya ikut-ikutan negara lain atau daerah lain.
Lockdown… lockdown… lockdown…
semua fasilitas publik dan pariwisata langsung tutup hanya dalam waktu 2 minggu pasca kejadian pertama. Namun nampaknya penutupan dan pembatasan akses pada berbagai bidang tidak sejalan dengan harapannya. Nyatanya angka korban kasus Covid malah semakin marak dan bertambah seiring berjalannya waktu. Bahkan per tanggal 19 Oktober 2020 sudah mencapai 360rb an orang yang terpapar. Sedangkan yang masih aktif sekitar 60rb an. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, dan kita tidak membahas itu sekarang. Yang penting kasus covid setiap hari bertambah banyak, dan dampaknya juga berlipat-lipat dirasakan di berbagai lini.
Banyak sekali yang bisa dibahas dari pandemi ini. Tapi paling tidak disini saya akan fokus membahas terkait masalah pendidikan terutama di wilayah sekolah. Sektor yang paling saya rasakan sebagai kepala sekolah.
Semenjak kasus pertama pada awal Maret, sekolah langsung ditutup berdasarkan instruksi dari kementerian dan dinas pendidikan DIY diperkuat dengan dawuh Sri Sultan X. Kami sebagai sekolah kecil tentu ikut apa yang mayoritas lakukan, kami juga menutup sekolah tanpa persiapan pembelajaran nanti akan seperti apa. Ketika itu saya hanya sedikit menyampaikan ke anak-anak tentang Covid 19 itu apa, cara penyebarannya bagaimana, apa yang harus kita lakukan dan lain sebagainya selama kurang lebih 40 menit di setiap kelasnya. Memang waktu yang sangat kurang untuk menjelaskan. Tapi hanya itu yang dapat kami berikan sebagai bekal awal.
Bagi guru lebih sedikit lagi persiapannya, kami belum pernah tau bagaimana rasanya diajar menggunakan sistem daring, belum pernah juga mendapatkan pelatihannya dan memang belum pernah diterapkan di sekolah secara nyata. Kami hanya mengadakan pelatihan penggunaan teknis aplikasi seperti Google Classroom dan pemanfaatan WA sebagai sarana pembelajaran. Itu pun kami sebagai pihak sekolah bingung bagaimana seharusnya pembelajaran daring itu. Bukan karena kami tidak mau belajar dan mencari referensi dari pengalaman sekolah lain maupun dari internet. Melainkan kondisi sumber daya manusia (kapasitas guru) dan kemampuan siswa kita kurang maksimal. Jangankan daring, pembelajaran biasa tatap muka saja masih banyak sekali yang perlu dibenahi. Apalagi jika pembelajarannya daring. Pokoknya pembelajaran daring ini penuh ketidaksiapan, tapi bagaimana lagi. Mungkin memang itu keputusan terbaik kala itu. Keputusan untuk membatasi akses memang benar, tapi orang-orangnya saja yang masih ngeyel. Akhirnya ya Covid tetap saja melambung tinggi. Sebaik apapun keputusan, sebagus apapun pemerintah, kalau orangnya sudah seenaknya sendiri ya sama saja.
Kondisi Sekolah Sebenarnya
Kita flashback dulu sebentar ke waktu sebelum pandemi. Sekolah sampai saat ini sebenarnya masih mencari bentuk dan sistem yang kokoh. Sudah 10 tahun kita melakukan praktik belajar mengajar di sekolah ini. Tapi setiap tahun tetap saja kita masih berubah-ubah bentuknya. Pernah menganut sekolah bilingual, sekolah wirausaha, sekolah multiple intelligences, sekolah pondok dan lain-lain. Berbagai kegiatan pendukung juga kita lakukan, tapi tetap saja belum ada yang benar-benar pas. Situasi buruk ini dibuktikan dengan jumlah penerimaan peserta didik baru setiap tahun yang semakin berkurang, tahun 2020 ini saja kita hanya dapat 10 anak.
Kondisi ini diperburuk dengan keadaan selama pandemi ini, pertemuan tatap muka awalnya dilarang total dan mau tidak mau harus beradaptasi untuk melakukan pembelajaran daring. Bentuk sekolah ketika masuk biasa saja masih sulit dan mencari sistem yang padu, malah disuruh belajar daring yang memang formula dari pusat sendiri masih bingung. Model pembelajaran yang memang belum pernah kita lakukan sama sekali, bahkan sekolah ‘favorit’ pun kebingungan menanggapinya. Otomatis kita juga seadanya menanggapi pembelajaran model baru ini. Yang penting kita ikut himbauan pemerintah. Namun untuk saat kita sudah menerapkan sistem kombinasi, dimana siswa masuk 3 kali dalam 2 minggu.
Kondisi Kelas 9 Tahun ini
Virus kelas 9 memang menjadi penyakit tahunan yang dihadapi Sekolah, mungkin karena mereka merasa menjadi kakak tertua yang menguasai seisi sekolah. Dulu ketika kelas 8 mungkin mereka masih malu-malu. Tidak berbeda dengan angkatan 10 tahun ini, tahun ini mereka semakin menjadi-jadi. Bahkan mungkin malah lebih buruk dari itu karena berbagai faktor yang sudah disebutkan diatas. Selain itu beberapa anak kelas 9 sekarang memang bisa dibilang salah pergaulan. Ada semacam brotherhood atau perkumpulan beberapa anak dari berbagai sekolah sekitar yang sering sekali nongkrong dan main-main tidak jelas. Sesekali mereka otak-atik motor, pernah juga touring ke luar kota, atau hanya sekedar nongkrong di basecamp berupa rumah kontrakan kosong yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.
Parahnya perkumpulan ini sudah mengarah ke hal-hal negatif seperti pernah ketahuan di basecamp mereka ngrokok dan minum oplosan atau disana berkumpul antara anak putra dan putri tanpa sekat. Ya kita tidak tahu apa yang terjadi disana, tidak ada bukti dan saksi yang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau ada anak cowok dan cewek di kontrakan kosong, sebelumnya minum oplosan, hobinya main motor dan keluar malam, apalagi sudah mendeklarasikan pacaran di sosial medianya, terus apa yang mereka lakukan? Ya memang hanya praduga, tapi pikiran suudzon sulit ditepis ketika tahu karakteristik anak-anaknya. Kami belum menindak secara tegas karena kurangnya bukti dan terbatasnya pengawasan kami sebab itu terjadi di luar jam sekolah dan di luar lingkungan sekolah.
Kegiatan ini sepertinya sudah berjalan sejak kelas 8 dulu, hanya saja kami tahu jelasnya baru-baru ini setelah beredar video mereka berkumpul di basecamp beberapa minggu lalu. Dari pihak sekolah pun tidak bisa maksimal mengontrol mereka, karena kondisi pandemi yang tidak memungkinkan untuk masuk seperti biasa. Rasio masuk untuk siklus yang sudah kita jalankan hanya 3 hari masuk per 2 minggu. Waktu yang sangat sedikit, tapi baru itu keberanian kami. Dengan waktu yang sesingkat itu kami tidak bisa mengontrol penuh dan mendoktrin dengan sempurna. Bahkan dengan porsi waktu yang sesedikit itu masih saja banyak yang tidak masuk. Yang masuk malah anak-anak yang memang tidak bermasalah, sedangkan anak-anak tongkrongan itu jarang sekali masuk dan tidak mengerjakan tugas secara daring.
Pernah dulu kami panggil anak-anak yang tidak mengerjakan dan tidak masuk itu, namun tanggapan yang diberikan terkesan alasan klasik. Sang orang tua bilang kalau sudah setiap hari mengingatkan dan membimbing, akhirnya orang tua menyalahkan anaknya yang nakal dan susah diatur. Si anak bilang kalau tidak diperhatikan orang tua sehingga dia main tak terkontrol baik di dalam rumah dengan gadgetnya maupun di luar dengan teman-teman seperjuangannya, sehingga secara tidak langsung anak menyalahkan orang tua karena tidak memperhatikannya dengan tidak mengajari tugasnya. Klasik sekali masalahnya, semuanya menuntut sempurna dan mengukur dengan standar orang lain. Ketika pandemi seperti ini yang seharusnya sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk bersama-sama mendidik dan mengajar. Namun kondisi nyata tidak semudah perkataan para pakar di TV atau di webinar.
Permintaan yang Harus Kami Penuhi
Sejak sebelum pandemi pak menteri pendidikan memang sudah mencanangkan ingin mengubah arah pendidikan Indonesia, artinya banyak hal yang akan diubah selama pak Nadiem menjabat. Salah satunya tentang evaluasi pembelajaran nasional yang diganti, mulai tahun 2020 UN dihapuskan dan nantinya akan diganti dengan AKM di kelas 8 pada tahun 2021. Memang dulu saya pribadi mengkritik UN karena menjadikan pendidikan seperti bermata kuda, hanya mementingkan 4 mapel dengan mengabaikan hal-hal esensial lainnya. Bagus memang keputusannya, tapi kondisi pandemi ini kita jadi extra sulit untuk memenuhinya. Sebab kami melihat sample soal AKM ternyata membutuhkan analisis yang extra. Kalau di dipandang dari kacamata taksonomi Bloom UN itu tingkat kesulitannya di kognitif level 3 (pengaplikasian) sedangkan AKM itu di level 6 (evaluasi). Tingkatan yang sangat wow untuk langsung dikejar di kelas 8.
Kalau di kelas 8 ada AKM, di kelas 9 diisukan akan tetap ada UASDA (UN tapi dari provinsi/ kabupaten). Memang kebijakan UN dihapuskan, tapi akan tetap saja ada ujian di akhir tahun untuk standar penerimaan peserta didik baru di jenjang SMA dan SMK. Malah untuk soalnya diisukan akan seperti standar AKM yg di level 6 taksonomi bloom. Bisa dibilang ya sama saja kebijakannya. Dihapuskan tapi dibuat versi barunya, atau ada yang menyebutnya UN 2.0
Belum lagi tuntutan dokumen yang semakin lama semakin menumpuk saja. Baik itu dokumen pembelajaran rutin atau permintaan dinas terkait kurikulum darurat selama masa pandemi ini. Seakan-akan sekolah hanya menuruti dokumen dinas saja, padahal jika kita bicara pragmatis dokumen itu tidak terlalu berguna bagi keberlangsungan sekolah sehari-hari. Tapi karena setiap sekolah memang wajib menaati keinginan dinas, ya kita mau tidak mau tetap harus membuat.
Tuntutan yang mau tidak mau harus dilakukan juga dalam waktu dekat adalah PPDB. Tahun kemarin kita bisa dibilang gagal karena hanya bisa mendapatkan 10 anak, tahun ini mungkin salah satu tahun terberat yang harus dilalui Sekolah dengan berbagai tantangannya. Belum lagi tahun depan (2021) kita juga sudah dituntut untuk melakukan akreditasi ulang, jadwalnya memang seperti itu, tidak bisa diundur lagi kelihatannya. Karena aslinya justru malah tahun 2020 ini.
Situasi seperti ini sangat sulit bagi sekolah untuk memperbaiki dan memberikan yang terbaik, kondisi sebelum pandemi saja masih sulit apalagi ditambah pandemi. Saya pikir tidak hanya sekolah kami yang kebingungan seperti ini. Sempat dulu pernah kepikiran untuk mundur dan menyerah saja, karena kondisinya sudah terlalu sulit. Belum lagi ditambah dengan problem pribadi, tentu kan setiap orang punya masalah masing-masing. Namun akhir-akhir ini rekan-rekan guru karyawan yang punya semangat tinggi kemudian menyadarkanku untuk terus berjuang di sekolah ini. Ternyata masih juga ada yang support dan belum menyerah, aku tidak sendirian.
Kalau ingin mengeluh mungkin tulisan ini akan lebih dari 10 halaman hanya berisi masalah. Namun sebagai seorang muslim yang percaya akan takdir dan ketetapan Allah, kita tidak boleh demikian. Ujian dan masalah adalah hal yang tidak bisa lepas dari manusia, maka hadapi saja.
0 Comments: