The first one and the only one—yang saya tahu—khotbah yang khotibnya ada 2 hanya ada di Laboratorium Agama UIN Sunan Kalijaga. Mungkin masih terdengar asing dan aneh, kenapa harus ada 2 khotib dalam 1 khotbah, untuk apa gunanya? Kalian pernah merasakan menjadi orang yang tidak bisa mendengar? Atau paling tidak bertemu dengannya? Bagaimana mereka menerima informasi kalau tidak mendengar?
Mungkin berbeda dengan diri kita, kita seringkali menerima dan memberi informasi dalam bentuk suara dengan bebas, tanpa ada hambatan maupun rasa syukur. Namun bagi saudara saudara kita yang tuli (tunarungu/ wicara) informasi bentuk suara hanyalah mitos belaka. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan tanpa memperoleh informasi dalam bentuk suara. Bahasa yang mereka pahami hanyalah bahasa tulisan, gambar, oral—bentuk gerak bibir, dan bahasa isyarat.
Oleh karena itu, khotbah di UIN SuKa disampaikan oleh 2 khotib dengan tugas masing masing. 1 khotib dengan suara—biasanya diisi dosen atau pemuka agama— dan khotib penerjemah bahasa isyarat —dari relawan yang memahami bahasa isyarat. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah khotbah disampaikan oleh 1 orang tapi ditambah 1 orang yang menerjemahkan khotbah tersebut kedalam bahasa isyarat. Tujuannya tidak lain adalah supaya mereka yang tidak dapat menerima informasi secara suara tetap dapat mengerti isi khotbah yang dialih bahasakan kedalam bahasa isyarat.
Aku juga ingin mengerti isi khotbah
Mungkin seperti itu teriakan mereka saat didalam masjid hanya menunggu ibadah sholat ied dan sholat jumat selesai tanpa mengerti apapun yang didendangkan khotib. Mereka juga berhak mengerti materi khotbah.
Sudahkah kita bersyukur saat kita bisa mengakses informasi secara bebas melalui suara?
Sudahkah kita menyalurkan informasi kebentuk yang mereka pahami?
Mereka sebenarnya tidak perlu dikasihani, mereka butuh diperhatikan, diperlakukan dan dipenuhi hak haknya sebagai manusia layak pembaca semua.
0 Comments: