Sebuah Kritik terhadap Teori Multiple Intelligences - Howard Gardner :  Coretan Dinding Sekolah

Sebuah Kritik terhadap Teori Multiple Intelligences - Howard Gardner : Coretan Dinding Sekolah



Multiple Intelligences itu Manis tapi Sulit Dicerna

Orang pendidikan pasti kenal dengan teori satu ini. Mbah Howard Gardner dengan segala teorinya memang mendobrak sistem pendidikan kala itu. Sekitar tahun 1910-an orang cerdas hanyalah diukur dengan sejumlah soal berisi logika dan angka-angka belaka atau orang-orang menyebutnya tes IQ. Menurut Gardner tes IQ yang dibuat mbah Binet ini hanyalah tes pesanan para kapitalis agar orang-orang tani dan buruh tidak bisa masuk ke lingkarannya dan menganggap dirinya bodoh. Karena sesungguhnya tes IQ ini menguji logika, visual, angka dan kata-kata. Sehingga orang-orang buruh dan tani itu pasti tidak bisa memperoleh nilai setinggi orang-orang kapitalis yang memang mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.

Mbah Gardner menentangnya dengan teori Multiple Intelligences (MI) yang revolusioner. Banyak sekali orang setuju dan sepakat dengan teori ini semenjak dirilis ke publik pada sekitar tahun 1980-an. MI berisikan 8 macam jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap manusia. 8 kecerdasan itu adalah: Visual, Audio, Kinestetik, Logika, Linguistik, Intrapersonal (diri), Sosial, Alam, baru akhir-akhir ini ditambah kecerdasan Spiritual. Gardner percaya bahwa setiap manusia pasti memiliki minimal satu diantara semua kecerdasan itu. Sehingga para penganutnya juga percaya bahwa sesungguhnya tidak ada manusia gagal atau anak yang bodoh. Semua itu hanya salah pengarahan dan kurangnya pengarahan sehingga potensi sesungguhnya tidak muncul. Buktinya beberapa anak “bodoh” atau orang-orang “gagal” setelah dipegang dan digerakkan oleh pakar MI menjadi menemukan jati dirinya. 

Banyak kisah-kisah inspiratif bertebaran di internet dimana seseorang yang dulunya gagal karena komunitas yang tidak mendukung. Setelah diarahkan dia menjadi mahir. Film Taare Zameen Par salah satu contohnya. Film ini menceritakan tentang seorang anak yang tidak bisa membaca, menulis bahkan berhitung sederhana. Namun dia memiliki bakat melukis yang luar biasa. Awalnya dia dipandang bodoh oleh keluarga, teman, dan gurunya. Namun setelah dia bertemu dengan guru seninya yang baru segalanya berubah. Guru seninya paham betul dengan teori MI, sehingga dia memahami kalau si anak ini sebenarnya tidak bodoh melainkan hanya salah cara mendidiknya saja. Dia berkeyakinan jika dengan menggunakan pendekatan yang tepat nanti anak ini menjadi cerdas. Akhirnya dia coba betul, dengan penuh ketelitian sang guru mengajari si anak dengan sisi kecerdasan optimalnya, yaitu seni. Dia belajar matematika, membaca dan menulis dengan seni lukis/ Visualnya. Menggambar angka yang besar, melukis tulisan, mengajari berhitung di taman, dan lain sebagainya. Dan akhirnya memang benar, di dalam film itu sang anak menjadi pandai membaca, menulis, dan berhitung melalui gambar. Contoh sukses pendekatan MI yang terdapat dalam film.

Awal Mula Jatuh Hati

Pak Munif Chatib telah menerbitkan berbagai buku tentang praktik baik MI dalam berbagai sudut pandang. “Sekolahnya Manusia” ditulis ketika dia menjadi kepala sekolah revolusioner yang berhasil membangkitkan sekolah dari liang lahat menggunakan MI. “Gurunya Manusia” berisikan langkah praktis yang bisa digunakan panduan seluruh guru untuk menerapkan MI di kelasnya, disini juga diceritakan berbagai kisah sukses penulis dalam menerapkan MI di berbagai sekolah. Kemudian yang mirip dengan kisah film diatas, pak Munif menceritakan anaknya sendiri dalam bentuk sebuah novel “Bella Sekolah Tak Perlu Air Mata”, mirip sekali ceritanya dengan film tadi. Dan masih banyak lagi kisahnya dalam bukunya, ada 8 buku yang pernah saya beli dan baca.

Pak Munif ini lah sosok pahlawan yang menginspirasiku dan membuatku jatuh cinta dengan MI semenjak kuliah dulu. Awalnya dikenalkan oleh pak ketua jurusan ku ketika kuliah, dulunya sempat tertarik namun karena belum membaca bukunya jadinya menjadi pikiran lalu saja. Kemudian suatu ketika aku beli buku pertamanya, “Sekolahnya Manusia”. Belum juga selesai membaca buku pertama aku langsung jatuh cinta dengan teori ini, sangat aku banget. Kemudian kuputuskan untuk membeli 4 bukunya ketika kuliah. Di berbagai kesempatan diskusi aku selalu mengagungkan teori ini sebagai solusi ampuh dari banyak permasalahan pendidikan di Indonesia. MI dengan segala varietasnya akan mampu menampung segala keunikan orang. Semua orang pasti punya kecenderungan kecerdasan yang berbeda, dan jika potensi itu dimaksimalkan orang tersebut akan sukses dengan versinya masing-masing tanpa melihat standar orang lain. Karena memang setiap orang berbeda.

Akar MI yang ditancapkan pak Munif ternyata begitu kokoh mengendap dibenakku, apalagi dipupuk dengan keaktifan ku di dunia difabel yang mengusung tema besar inklusi, keberagaman, keberbedaan dan keunikan. Seakan-akan aku menemukan jati diri dan nilai dasar yang akan aku terapkan ketika nanti sudah selesai studi. Multiple Intelligences + Inklusi = tidak ada manusia gagal, yang ada hanya salah supportnya. Jika dukungannya benar, niscaya dia akan sukses dengan caranya sendiri. Nilai-nilai ini aku yakini sampai aku selesai studi dan sudah aku rencanakan nanti jika aku disekolah akan kubuat sekolahan yang seperti aku yakini.

Go to School

 Kelak ketika aku sudah di sekolah entah jadi guru atau kepala sekolah, pasti akan kuterapkan paradigma MI sebagai landasan utama dalam setiap pembelajaran. Dokumennya sederhana, strateginya beragam, seluruh kecerdasan anak dirangkum, tidak ada manusia bodoh, tidak ada yang gagal, serta materi pembelajaran menjadi lebih hidup dan bermakna. Nilai-nilai MI dan inklusi sangat mempengaruhi pola pikir ku terhadap fenomena yang terjadi di lapangan dan sangat mewarnai corak tulisan dan bicaraku.

Desember 2017 aku masuk di sekolah pertama secara resmi, dan bukan menjadi guru atau karyawan. Melainkan langsung menjadi kepala sekolah. Di usia 23 tahun, belum menikah, praktik mengajar di sekolah hanya ketika magang, baru diwisuda 1 bulan langsung menjadi kepala sekolah, sungguh mantab. Tentu disini aku akan menuangkan segala teori dan idealitas selama studi. Bayanganku tentang sekolah inklusi yang menghargai setiap karya dan keunikan siswa selalu terlintas dibenakku setiap hari sejak sebelum resmi menjabat. Angan-anganku sudah jauh, aku ingin ini ingin itu ingin banyak sekali…. 

Sekolahku ini sebelumnya memang sudah mengusung teori MI sehingga aku lebih mulus dan lebih mantap untuk menerapkan MI lebih jauh lagi. Bahkan di dinding ruang kepala sekolah tergambar dengan jelas 8 jenis kecerdasan MI dengan visualisasi sun go kong si kera sakti pengawal biksu tong. Tidak ada keraguan bagiku untuk merealisasikan idealitas ku semasa di kuliah.

Selang beberapa hari masuk ke sekolah aku langsung mempelajari sejarah MI yang pernah diterapkan di sekolah baik berupa dokumen, nilai-nilai, kegiatan, atau pemahaman guru-guru tentang teori tersebut. Ternyata secara teori mereka masih belum tahu seperti apa sesungguhnya MI itu, selain itu bukti dokumen penerapannya juga tidak banyak ditemukan. Praktek MI berfokus pada peran kepala sekolah yang memikirkan konsep sekaligus pelaksana semua kegiatan. Sehingga para guru dan karyawan tidak banyak yang paham tentang hal itu, dan setelah si inisiator berhenti maka semua kegiatan pun akhirnya berhenti jua.

Mengetahui hal itu saya langsung buka buku lagi, belajar lagi diskusi, ngopi dan ngangsu kawruh. Jauh dekat tak datangi baik itu rekan atau senior yang lebih ahli tentang urusan pendidikan, kepemimpinan dan per kepala sekolahan. Tak lama kemudian terus aku mulai memetakan jenis kecerdasan anak dan guru berdasarkan teorinya mbah Gardner menurut kuesioner yang dibuat di salah satu jurnal Internasional. Itu adalah anjuran awal yang harus dilakukan oleh setiap sekolah berbasis MI. Ciri utama lainnya adalah pelatihan guru yang lebih sering dan guru-guru yang lebih aktif. Sehingga kita langsung buat berbagai pelatihan workshop serta micro teaching guru yang paling sering dibandingkan seluruh sekolah di Kabupaten Bantul.

Berbagai kegiatan, program dan pembelajaran saya usahakan untuk bisa di desain ulang berdasarkan nilai-nilai MI. Doktrin-doktrin MI terus aku dendangkan ketika rapat ataupun ada keluhan dari guru, karyawan atau siswa. Walaupun aku sendiri belum paham dan mungkin juga belum tentu bisa melakukan sendiri. Sebab hanya baru tahu di wilayah teori saja, urusan praktek masih dalam tahap belajar. 

Memang belum bisa langsung terlihat perubahannya, maklum membangun sistem dan teori itu tidak semudah itu. Baru juga setahun, mungkin tahun selanjutnya jika konsisten bisa merubahnya menjadi sekolah berbasis MI yang keren. Paling tidak sekarang mereka tidak asing ketika mendengar kata Multiple Intelligences, visual spasial, linguistik, interpersonal dan istilah-istilah lain.

Mulai Merasakan Pahit Asamnya MI

1 tahun, 2  tahun berjalan berharap ada perubahan paradigma dan pola mengajar guru sesuai dengan teorinya mbah gardner. Ternyata bukannya membaik malah stagnan diam dan berjalan di tempat sama seperti ketika aku pertama kali masuk. Seolah-olah tidak ada efeknya setelah berbagai program dan pelatihan diadakan. Guru mengajarnya juga masih seperti itu-itu juga, siswa juga tidak ada perubahan mendasar seperti yang saya inginkan. Sungguh bingung aku, kenapa hal ini bisa terjadi. 

Sempat aku berpikiran untuk pensiun saja sebagai pahlawan MI. Mau bagaimana lagi, mungkin ketika secara ilmu dan sarana belum siap tidak masalah. Yang aku sayangkan itu minat mereka dan ketertarikan untuk berubah dan belajar begitu rendah. Kalau diibaratkan botol mereka tetap tertutup rapat, jadi seberapapun air yang akan dituang, bagaimanapun caranya menuangkan tetap saja tidak ada air yang masuk. ya…. mungkin sedikit-sedikitlah. Itu hal utama yang membuatku semakin nglokro. Tidak ada orang lain yang mendukung penuh program ini. semuanya hanya mengikuti saja, belum bisa mengelaborasi konsep.

Akhirnya lama-kelamaan beberapa program MI berhenti begitu saja, tidak ada yang tanya atau merindukan juga. Artinya mereka sendiri belum siap untuk belajar MI. Buktinya setelah dihilangkan pun tetap tidak ada yang mencari.

Renungan demi renungan, malam demi malam berlalu. Lama kelamaan aku tersadar alasan dibalik semua ini baru setelah aku diskusi dengan sahabat ngopiku. Mereka dulu satu kampus, satu organisasi dan satu aliran denganku, namun S2 nya mereka di kampus sebelah, kampus yang mendominasi arah dunia pendidikan formal khususnya di jogja. Mana lagi kalau bukan di UNY. Mereka menceritakan bagaimana budaya kampus UNY yang begitu kering sehingga mayoritas konten kuliahnya berisikan dokumen-dokumen pembelajaran. Penguasaan materi ajar juga sangat sering dikuliahkan, padahal mereka sudah S2. Sehingga tidak banyak yang bisa diperdebatkan dan dianalisis. 

Berbeda dengan ketika kuliah di UIN yang mengedepankan inovasi, variasi pembelajaran, analisis mendalam, problem solving serta liarnya pikiran. Sehingga alumninya terdidik untuk menjadi pemikir yang mengedepankan konsep, landasan mendasar dan variasi pembelajaran, tidak hanya sekedar melengkapi dokumen. Ya mungkin ini hanya pandangan subjektif seorang lulusan UIN Jogja, tapi setelah tak lihat-lihat kelihatannya seperti itu juga.

Aku juga sebenarnya hanya paham teorinya MI, kalau diminta praktik dan mencontohkan saya juga tidak bisa. konsepnya, sejarahnya, idealnya dan contoh di buku dan video saya paham betul. Tapi untuk menerapkan dan mencontohkan itu adalah hal yang berbeda. Memang dasarnya saya tipe pemikir dan pengonsep, macam orang dibelakang layar di dalam ruangan. Kalau untuk teknis kegiatan, seni berbicara apalagi yang interaktif dan variatif aku memang masih perlu banyak belajar. Sehingga konsep yang tak tawarkan ya mentah lagi. Kepalanya tidak bisa memberi contoh teknis, dan yang dilapangan tidak bisa menerjemahkan konsep si kepala. Selesai deh…

Salah satu alasan sekolah tidak bisa gencar menerapkan MI juga karena tuntutan dinas. Tuntutan dokumen dan berbagai kegiatan yang diminta dinas begitu banyak, mulai dari agenda supervisi rutinan, dokumen pembelajaran, manajerial dan baru-baru ini ada dokumen tambahan sebagai syarat sebelum menerapkan pembelajaran tatap muka. Belum lagi tahun depan kita akreditasi, pasti ribet dan akan memakan waktu dan energi yang tidak sedikit. Tuntutan dinas yang sangat menguras energi ini menjadi salah satu penghambat ketika sekolah ingin menjalankan aksi independennya.

Kesimpulanya…

Setelah jatuh cinta terlalu jauh dan yakin akan suksesnya MI sebagai obatnya pendidikan Indonesia dan kemudian dikecewakan lingkungan yang belum siap. Akhirnya aku sekarang angkat tangan untuk memperjuangkan secara langsung. Nilai-nilai dan paradigma yang sudah terlanjur mengendap memang sudah mendarah daging dan tidak bisa dihilangkan. Tapi untuk praktiknya harus dibungkus dengan kemasan lain dipadukan dengan teori lainnya juga.

Jadi, untuk kedepannya saya sudah tidak memakai MI lagi, tapi core nya masih tetap inklusif, kreatif dan menghargai semua karya anak sekaligus mengasah potensi anak yang sesungguhnya. Tujuan masih bisa sama, jalan bisa berbeda-beda.


Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: