Integrasi Kurikulum Sekolah dan Pondok Pesantren, Mungkinkah?!?!?

Integrasi Kurikulum Sekolah dan Pondok Pesantren, Mungkinkah?!?!?

Prof. Dr. Amin Abdullah adalah salah satu tokoh besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melakukan transformasi besar dari IAIN menjadi UIN di Jogja pada tahun 2004. Pada waktu itu beliau ingin menyatukan antara pelajaran umum dan pelajaran keagamaan yang pada saat itu masih dipandang sesuatu yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Akhirnya pada tahun tersebut beliau mencetuskan paradigma Intergrasi-Interkoneksi yang sampai saat ini menjadi landasan kurikulum seluruh jurusan, dasar ide pokok setiap kegiatan, serta ideologi utama ketika mahasiswa diskusi di kelas dan di warung kopi. Apa sih integrasi-interkonesi,.. hhmmm..... sebenarnya nanti akan menjadi diskusi yang panjang ketika penulis menjelaskan di sini secara teoritis lengkap

Sebelum kita berdiskusi lebih lanjut, ini adalah hasil pikiran dan renungan kang siddicq dalam beberapa hari lalu saat ingin menuliskan profil sekolahnya SMP Islam Prestasi Al Mubtadi-ien tentang status maupun posisi sekolah dan pondok pesantren serta bagaimana hubungannya. Apakah hanya secara formal saja ada sorogan al quran pagi dan madrasah diniyah setiap siang? atau budayanya yang khas pesantren diterapkan di sekolah? atau pelajaran yang bermuatan nilai-nilai Islami atau bahkan kurikulum yang teritegrasi seperti yang dicetuskan pak Amin Abdullah? Dan saya belum pernah nemu dan membaca (kalau yang sudah bagi-bagi referensi ya) terkait kategorisasi ini. Menurut saya ini suatu kekosongan pengetahuan medasar, ideologis lagi penting untuk diketahui seluruh masyarakat tidak hanya pihak sekolah dan orang tua murid. Mengapa hal ini penting, karena telah kita ketahui bersama sekolah-sekolah berlabelkan Islam banyak sekali kita jumpai dan semuanya mengunggulkan nilai-nilai agama Islam yang ada di sekolahnya tapi kita tidak tahu bagaimana sih penerapan nyata yang ada di setiap sekolah? dan manakah yang terbaik secara sistem, manajemen, output, proses maupun ideologisnya sehingga bisa kita jadikan role model sekolah Islam di seluruh Indonesia bahkan dunia.
Pemikiran kategorisasi Sekolah Islam ini bisa menjadi bahan menulis skripsi, tesis, artikel jurnal bahkan disertasi mungkin kalau memang nantinya menghasilkan sebuah teori katalogisasi baru. Mungkin dari pembaca-pembaca yang budiman kalau ada yang mau berkolaborasi saya siap menjadi mitra penelitian, soalnya saat ini (April 2018) saya belum ada urgensi penelitian.

Baiklah, cukup curhatnya sekarang kita mulai diskusi lagi, berikut studi pendahuluan katagorisasi menurut beberapa buku yang pernah saya baca dan pengalaman di dunia pendidikan yang singkat ini. (Perlu diketahui ini belum menjadi hasil riset, hanya perenungan di malam yang sunyi ditemani secangkir kopi nikmat). Sedikitnya ada 4 macam cara sekolah menyematkan label Islam, yaitu sebagai  syarat formalitas saja, sebagai budaya, ada hubungan dan komunikasi dengan pelajaran tertentu, terintegrasi penuh antara kurikulum sekolah dan pesantren.

1) Sebagai syarat formalitas

Jenis sekolah ini biasaya karena tuntutan yayasan atau pemilik sekolah yang memiliki keyakinan terhadap agama Islam yang kuat namun tidak didukung dengan pengetahuan terkait pendidikan yang setara. Hasilnya yang penting ada program agama di sekolah dianggap sudah sekolah Islam, asal setelah sekolah diasramakan dan ditambah pelajaran agama dirasa sudah cukup sebagai modal anak-anak dan mereka lulus dengan label "lulusan islami" disematkan di ijazah mereka. Jenis ini menurut saya adalah level terendah karena penerapan islam hanya sebatas program-program saja tanpa ada internalisasi nilai-nilai Islam di hati dan pikiran anak-anak.

2) Sebagai budaya

Jenis ini satu tingkat diatas jenis sebelumnya. Tidak hanya menambah program atau jam tambahan keagamaan (seperti madrasah diniyah) tapi juga mengajarkan dan membiasakan budaya-budaya islami maupun beberapa tata krama khusus di dunia pesantren. Seperti bagaimana cara menghormati guru dan ilmu, bagaimana cara bersyukur, berdoa, beribadah, menghadapi masalah dan berbagai hal keseharian lainnya dibiasakan berdasarkan nilai-nilai pesantren. Hal ini mungkin dirasa cukup bagi beberapa wali murid karena merasa anaknya ditambahi beberapa hal terkait agama serta nilai-nilainya untuk menjadi pondasi yang kokoh kala melanjutkan di bidang selanjutnya.

3) Berkomunikasinya antara pelajaran tertentu dengan pesantren (Interkoneksi)

Jenis ini sudah lebih pro dan keren dibandingkan sebelumnya. Kalau yang ini nilai-nilai Islam dan pesantren tidak hanya disematkan di program tertentu, tapi juga di beberapa pelajaran umum yang memungkinkan. Seperti halnya materi gravitasi, percepatan, archimedes, dan lain-lain tidak ada secara spesifik di Islam dan tidak bisa juga digabungkan dengan keilmuan yang ada di pesantren, jadi komunikasikan, beri pendapat dan pandangan bagaimana Islam memandang itu, dan nilai apa yang bisa kita ambil untuk diterapkan dikehidupan sehari-hari. Guru-guru akan merasa terepotkan mungkin karena diminta untuk memberikan perspektif Islam di beberapa materinya, apalagi bagi guru-guru yang bukan berlatar belakang Islam, pasti kesulitan awalnya. Namun hal ini akan memberikan perspektif yang luas dan pandangan Islam yang lebih keren di mata para siswa.

4) Terintegrasi penuh antara kurikulum sekolah dan pesantren.

Singkatnya paradigma ini berusaha untuk mengkomunikasikan dan menggabungkan antara pelajaran sains dan islam, tapi bukan juga berarti islamisasi sains maupun sains-isasi islam lhoo (koreksi saya jika salah) ... Maksudnya untuk beberapa pelajaran yang memang bisa digabungkan secara materi maupun historisnya maka pelajaran tersebut bisa dilebur menjadi satu disipilin keilmuan baru yang mencakup kedua materi tadi, hal ini disebut integrasi. Seperti contoh pada materi menulis puisi atau menggambar poster bisa saja diselipkan nilai-nilai Islam sekaligus menuliskan puisi islam dan menggambar poster islami, tentu konten, tata cara, serta kekhasan islam pondok pesantren dapat menambah kazhanah tersendiri. Jenis ini hanya bisa diraih oleh sekolah-sekolah yang memang pro dan mampu untuk mengedit kurikulum nasional menjadi kurikulum otonom sekolah yang diintegrasikan dengan nilai-nilai pesantren di setiap pelajaran, program, aturan, maupun kegiatan-kegiatan sekolahnya. Tentu hal ini menjadi idaman bagi sebagian orang yang memang ingin memberikan pemahaman kepada anaknya yang komprehensif dan mendalam terkait Agama Islam dan ilmu umum.

Saya ulangi sekali lagi, ini masih berdasarkan pemikiran saya pribadi ditambah buku-buku, orbolan warung kopi serta pengalaman belajar sewaktu di UIN jogja. sehingga belum teruji validasi kebenarannya.

Mungkin seperti ini dulu gambaran studi pendahuluan mini riset, semoga besok bisa menjadi proyek riset betulan dan dimuat di jurnal internasional (amien). untuk teman-teman yang punya proyek riset tapi bingung judulnya, bisa mengambil ini, tapi ngajak saya lho ya.... atau mau sekedar diskusi dan berbagi ide, kolom komentar cukup sekedar bertukar pikiran, kalau masih pengen nnti kontak pribadi via email maupun wa saja.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: