Banyak sekali teori yang berkembang di dunia pendidikan sekarang, namun hanya sedikit yang tepat dan bisa mewadahi seluruh kecerdasan anak. Mulai dari Intelligent Quotient (IQ) dari Alferd Binet yang hanya fokus pada logika, angka, kata-kata dan visual. Hingga sekarang masih banyak yang menganggap IQ sebagai salah satu tolak ukur standar orang cerdas dan tidak. Terbukti saja orang akan langsung dianggap idiot jika kurang nilai IQ-nya di bawah 70 dan orang akan dianggap jenius jika IQ-nya di atas 130 tanpa melihat kemampuan dan kekurangan lain yang mungkin ada di dalam dirinya. Sebenarnya IQ dulu dibuat untuk menyingkirkan kaum buruh dari parlemen di awal abad ke-20 oleh penguasa pada waktu itu. Benar saja ketika itu banyak kaum buruh yang sebenarnya terampil dan pandai dalam mengerjakan sesuatu namun dinafikan hanya karena dianggap tidak cerdas menurut tes IQ. Akhir-akhir ini tes IQ masih difungsikan dibanyak tempat malah sudah berevolusi menjadi lebih hebat lagi. Tidak ada yang bisa lolos menjadi mahasiswa, pegawai kantor hingga PNS jika belum lulus dalam Tes Potensi Akademik.
Bukannya IQ tidak ada lebihnya, hanya saja masih belum mencakup seluruh jenis kecerdasan manusia jadi, masih ada anak yang dianggap bodoh padahal tidak. Selain itu di tahun 1995 muncul dua teori pendidikan secara bersamaan yaitu Emotional Quotient (Daniel Goleman) yang fokus pada pengendalian emosi diri serta rasa empati pada sesama dan Adversity Quotient (Paul Stoltz) yang fokus pada pengendalian serta ketahanan terhadap masalah yang dialami sehari-hari. Tidak lama kemudian tahun 2000, Ian Marshall mencetuskan kecerdasan dari hal batiniah yang belum banyak kajian ilmiah tentang spiritualitas atau kita lebih mengenalnya dengan sebutan Spiritual Quotient. Memang kalah populer jika kita bandingkan dengan IQ yang lahir pada tahun 1905 namun banyaknya teori pendidikan ini paling tidak lebih memperluas lagi pengertian kecerdasan yang bukan lagi tentang tebak logika dan gambar saja.
Oke, sekarang kita masuk ke Multiple Intelligences (MI). Howard Gardner adalah sosok pendidikan berlatar belakang psikologi dari Harvard yang lahir pada tahun 1943 dan kemarin Juli 2018 masih merayakan ulang tahunnya yang ke-75. MI memiliki keyakinan bahwa semua anak adalah cerdas dalam bidangnya masing-masing sehingga tidak ada anak yang memang benar-benar bodoh, hanya saja dia belum membuka harta karun potensi emasnya. Awalnya Gardner membagi jenis kecerdasan menjadi 8 jenis atau bisa kita sebut dengan SLIM n BIL (Spasial visual, Linguistik bahasa, Interpersonal, Musik, Naturalis, Body kinestetis, Intrapersonal, Logis matematis). Benar semua orang bisa memiliki satu hingga 8 jenis kecerdasan tersebut, dan sangat bisa berbeda kombinasinya. Ideologi yang diyakini Gardner jauh lebih luas jika dibandingkan dengan berbagai teori kecerdasan yang berkembang. Apalagi akhir-akhir ini beliau menambah khazanah kecerdasannya menjadi 9 jenis dengan tambahan kecerdasan spiritual. Messi dan Ronaldo tidak terlihat cerdas jika kita lihat dari kacamatanya Binet, namun mereka termasuk cerdas dalam hal kinestetis dalam kacamatanya Gardner. Mbah Kyai juga sulit diakui cerdas jika diminta mengerjakan tes IQ, namun berbeda jika Gardner yang melihat.
Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan kecerdasannya mulai dari genetik, lingkungan dia hidup, hobi hingga lembaga pendidikan juga bisa ikut andil dalam pengarahan dan membuat jenis kecerdasan unggul bahkan tenggelam. Pernahkah kalian mengamati orang-orang yang lulus dari universitas, jurusan atau pondok tertentu terkait kecenderungan kecerdasannya? Meskipun tidak bisa dipukul rata kebanyakan orang lulusan Saintek akan cenderung berpikir logis dengan melihat berbagai fakta dulu sebelum memutuskan tindakannya, karena memang dididik dengan pendekatan logis saintis. Kemudian orang lulusan dakwah dan tarbiyah akan lebih mahir dalam berkomunikasi dengan orang lain baik dalam publik maupun privat karena memang dari awal didoktrin agar bisa ngomong dengan orang lain, sebab itulah tujuan diadakan fakultas ini. Orang lulusan jurusan seni akan cenderung memiliki kehidupan yang bebas dan tidak ingin diatur oleh lain. Santri yang sudah lama belajar di pondok pesantren salaf akan lebih jeli dalam menganalisis pola bahasa atau makna dalam suatu karya sastra. Dan masih banyak lagi hal serupa jika kita pandai mengamati perbedaan antar jurusan dan universitas. Hal ini disebabkan doktrin yang berbeda menurut dengan kecenderungan dan ideologinya masing-masing dan akan berpengaruh terhadap kecenderungan kecerdasan orang serta sifat pribadinya.
Bagaimana sebenarnya pola pembelajaran MI dalam sekolah maupun universitas sehingga bisa mempengaruhi kecenderungan kecerdasan serta sifat pribadi seseorang? Banyak sekali perdebatan di kalangan mahasiswa, dosen hingga praktisi di sekolah. Dulu dalam suatu rapat guru dan ketua Yayasan saat ingin menerapkan MI di sekolah, kami masih belum satu suara tentang konsep sekolah yang akan menerapkan MI dalam kurikulum sekolah. Ada yang berpandangan bahwa nanti sekolah yang menerapkannya akan bebas pembelajarannya tanpa ada dokumentasi pembelajaran, tes terjadwal, hingga kurikulum yang tetap. Ada juga yang memiliki keyakinan bahwa kecerdasan logis matematis nanti tugasnya guru matematika yang mengajar, kemudian guru seni bertugas mengajar kecerdasan spasial dan musik, sedangkan strategi pembelajaran yang melibatkan raga atau bersifat kinestetis dilakukan oleh guru olahraga saja. Selain itu ada pula yang memiliki pandangan bahwa memasukkan MI dalam buku kurikulum sekolah akan merusak sistem dan tidak masuk ke dinas sehingga akan kerja dua kali bagi para guru. Sungguh sebenarnya MI tidak seribet itu jika ingin diterapkan dalam sekolah atau bahkan universitas.
Simpelnya saja MI adalah tentang bagaimana kreativitas pendidik untuk memodifikasi materi, media maupun strategi pembelajarannya untuk disesuaikan dengan kecenderungan kecerdasannya peserta didik. Justru dengan adanya MI akan memperkaya khazanah pembelajaran di sekolah serta memaksimalkan potensi kecerdasan anak didiknya. Bisa jadi dalam praktiknya sangat beragam menurut kompleksitas materi serta karakteristik peserta didik di dalam kelas. Mungkin bisa jadi saat belajar kosa kata baru dalam bahasa arab menggunakan strategi lari-lari di luar kelas dengan mencocokkan arti kata, bahasa arab serta gambarnya. Bahasa arab berarti belajar linguistik, lari di luar kelas berarti pemanfaatan kecerdasan kinestetis dan adanya gambar akan merangsang otak reptil dalam menggunakan kecerdasan visualnya. Sungguh satu contoh pembelajaran yang sebenarnya tidak mengubah esensi pembelajaran tapi sudah menerapkan MI secara penuh. Memang kreativitas guru dalam mengolah materi, media dan strategi sanggat dipertaruhkan di sini.
Terus bagaimana hubungannya dengan pendidikan karakter? Sebenarnya dari teori murninya Gardner tidak fokus pada pendidikan mental atau pendidikan karakter ketika menciptakan teori ini. Namun jika teori ini dipraktikkan secara benar dengan menyematkan seluruh kecerdasan dalam pembelajaran di kelas maka nilai-nilai dari setiap jenis kecerdasan akan terpatri dalam hati peserta didik. Banyak sekali nilai yang terkandung dalam MI seperti kecerdasan logis-matematis akan membuat orang berpikir dengan logika yang lebih. Namun kecerdasan interpersonal yang akan menanamkan rasa empati terhadap sesama sehingga tidak hanya logika yang dipakai. Tidak hanya dengan manusia, naturalis mengajarkan cinta satwa dan tumbuhan di sekitar kita. Masih banyaaak sekali nilai yang terkandung dalam konteks kecenderungan kecerdasan dalam MI, saya rasa mendeskripsikan lagi tentang nilai pendidikan karakter ini adalah pekerjaan yang mudah bagi teman-teman semua. Kemudian yang jadi pertanyaan selanjutnya bagaimana cara menanamkan nilai tersebut dalam diri anak-anak semua? Yang bisa menjawab ini hanya bapak ibu guru atau dosen yang pernah bertemu dengan anak-anak didiknya secara langsung. Karena segala hal bisa sangat variatif, tergantung dengan kondisi yang ada di lapangan dan kreativitas guru dalam mengolah materinya.
Saya hanya bisa memantik diskusi dengan menyampaikan MI dari berbagai perspektif sebagai praktisi pendidikan yang baru kebetulan sekarang menjadi Kepala Sekolah yang sedang merintis sekolah dengan memasukkan MI dalam kurikulum resminya. Tidak mudah memang membangun sekolah yang demikian, namun saya yakin semua akan ada jalan jika memang kita tetap terus belajar dan berusaha.
Awali pagi secangkir semangat, ditambah dengan sepiring percaya diri dan selalu keep moving forward
Artikel ini disampaikan dalam diskusi Kelompok Studi ilmu Pendidikan (KSiP) di Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Selasa, 6 November 2018
0 Comments: