SALAHKAH BILA TERINSPIRASI OLEH DIFABEL??: Kajian Kritis pemikiran Stella Young dan ASIAN PARA GAMES 2018

SALAHKAH BILA TERINSPIRASI OLEH DIFABEL??: Kajian Kritis pemikiran Stella Young dan ASIAN PARA GAMES 2018



        Asian Para Games baru saja usai tanggal 13 Oktober 2018 lalu sebagai lanjutan dari perhelatan Asian Games 2018 yang digelar di Indonesia tepatnya di Jakarta serta Palembang. Alhamdulillah dalam dua perhelatan besar itu Indonesia menorehkan sejarah yang bagus walaupun belum menjadi yang nomor satu di Asia, paling tidak sudah menjadi nomor satu di hati para warga Indonesia (cieee.....). Banyak sekali termasuk orang-orang disekitarku yang kagum, salut dan terinspirasi oleh atlet-atlet difabel yang sedang berlaga. “orang yang tidak punya kaki (cacat) saja bisa berenang masak kita (yang sempurna) saja kalah” dan banyak obrolan lain serupa yang sifatnya inspiratif. Tapi walaupun Indonesia Juara 5 dengan perolehan medali emas 37 keping dan saya sebagai aktivis difabel dari 4 tahun lalu, (tanpa mengurangi rasa bersyukur dan mengabaikan perjuangan para atlet) saya tidak setuju dengan diadakannya Asian Para Games ini. Apalagi tema pada tahun ini berbunyi “The Inspiring Spirit and Energy of Asia” yang secara langsung menyebutkan bahwa pertandingan ini diadakan sebagai semangat inspirasi bagi warga Asia dan dunia. Mungkin ada beberapa di antara pembaca bingung, memang apa yang salah dari inspirasi? Salahkah bila aku mengambil inspirasi teman-teman difabel?

Ada baiknya bila para pembaca melihat video Youtube di TED dari ibu Stella Young di alamat berikut https://youtu.be/8K9Gg164Bsw serta membaca post pak Arif Maftuhin di https://www.facebook.com/arif.maftuhin/posts/10161364711030179 . Beliau beliau lebih hebat dan memahamkan dalam menyampaikan sesuatu. Tulisan ini dibuat dari hasil diskusi dengan pak arif serta setelah melakukan beberapa riset di dunia maya sedikit. Jika sudah melihat dan membaca referensi di atas, saya hanya menambahi menurut sudut pandang pribadi. Walaupun sebenarnya saya menulisnya juga kurang tepat, karena saya bukan termasuk difabel. Alangkah lebih baik jika yang menulis ini adalah kegelisahan yang timbul dari diri difabel itu sendiri, namun saya hanya ingin mengungkapkan isi pikiran saja. Tidak bermaksud menyinggung siapapun.


                 Kembali ke judul, salahkah bila seseorang terinspirasi oleh difabel? Ya salah, kenapa? Ya karena terinspirasi oleh difabel sendiri itu memang sebuah kesalahan. Kok bisa? Stella Young menyebutnya dengan inspirational porn, memang sulit menemukan istilah yang tepat selain porn, karena makna di Indonesia agak beda namun konsepnya mirip. Film porno atau cerita porno dibuat oleh sekelompok orang untuk memuaskan hasrat dan nafsu kelompok lain. Orang yang berada di film tersebut hanya dijadikan objek kepuasan belaka, tidak lebih. Apakah salah jika memang muncul nafsu yang tinggi setelah melihat film porno? Di mana letak kesalahannya? Sama halnya dengan difabel yang hanya dijadikan objek inspirasi bagi orang-orang non-difabel. Sehingga dunia ini dibelah menjadi dua orang sempurna (non difabel atau kita) dan orang cacat yang menginspirasi (difabel atau mereka). Orang non difabel dengan “kesempurnaannya” atas teman-teman cacat merasa timbul gairah semangat baru setelah melihat orang dengan kecacatan. ”Orang-orang dengan keterbatasan saja bisa melampaui hal tersebut, masak orang yang ‘sempurna’ tidak bisa”. Apakah belum cukup kasar jika dunia yang mayoritas orang ‘sempurna’ ini hanya menganggap orang ‘cacat’ sebagai sumber inspirasi tanpa menganggapnya sebagai bagian dari dunia?
                Bagaimana jika orang difabel tersebut enjoy-enjoy saja dijadikan sumber inspirasi bagi banyak orang, atau malahan menjadikan hal tersebut sebagai mata pencaharian? Masih salahkah orang non-difabel jika menuai inspirasi darinya? Kembali lagi ke kasus film porno, bagaimana jika artis porno tersebut malah senang jika viewersnya banyak dan memuja-muja kemolekan tubuhnya sekaligus menjadikannya mata pencaharian, siapa yang salah? Atau kalau memang pembahasan film porno masih tabu pak Arif mencontohkan ibu-ibu yang di rumah “ditindas” oleh suaminya dengan segala kekangan konvensional yang dianggap mendiskriminasi bagi para ibu-ibu aktivis gerakan feminisme, seperti pekerjaan dapur, sumur, kasur serta segala pembatasan di dunia luar. Pertanyaannya, apakah salah jika ibu-ibu yang dianggap “ditindas” itu memang menikmati pekerjaan sehari-harinya dan merasa tidak terkekang? Terus ini salah siapa? Menurutku semua contoh di tetap salah karena sebenarnya orang difabel, aktris porno atau ibu-ibu yang ‘ditindas’ tidak dianggap bagian dari entitas namun hanyalah objek pemuas kelompok lain entah objek tersebut menikmati atau tidak.

Lagian konsep ini sama sekali tidak cocok dengan paradigma sosial inklusif yang digaung-gaungkan aktivis difabel akhir-akhir ini. Inklusif artinya setara dengan mencampurkan seluruh entitas baik itu difabel maupun non-difabel menjadi suatu kejuaraan yang padu. Bisa disiasati dengan menambah cabang tambahan seperti lari 100 dengan kaki palsu, renang gaya bebas tanpa tangan, badminton dengan kuri roda dan lain-lain. Atau bahkan jika memang itu dianggap sama jadikan satu saja seperti panahan, catur, lempar lembing dll toh sama saja orang catur dengan kursi roda dan orang catur non difabel, memang catur pakai lari-lari? Jika terpisah-pisah bukan kesetaraan yang didapat, namun justru malah menjadikannya objek inspirasi olahraga belaka. Tidak dipandang sebagai ajang perhelatan olahraga serius, maksudnya saya melihat perbedaan euphoria Asian Games dan Asian Para Games 2018 ini. Mendingan semua digabung di Asian Games saja, hanya diluaskan lagi kategorinya. Apa kita (yang sempurna) takut jika dikalahkan dengan mereka (yang cacat)? 

Sekarang mari kita bahas dari kacamata pendidikan dan multiple intelligences. Multiple Intelligences meyakini bahwa setiap manusia memiliki keunikan dan kecenderungan kecerdasan masing-masing terlepas dia orang difabel ataupun bukan. Ada orang non-difabel yang hebat dalam berolahraga, tetap ada juga orang difabel yang bisa berolahraga lebih jago. Ada orang difabel yang memang menginspirasi namun ada juga orang non-difabel yang lebih pandai memotivasi. Ada orang difabel yang profesor atau ahli dalam bidang tertentu, tapi ada juga orang non-difabel yang memiliki keahlian yang setara. Maksudnya dalam kacamata MI hal ini adalah wajar sesuai dengan karakteristik kecerdasan masing-masing info lebih lanjut klik https://www.smpislamprestasi.sch.id/2018/07/apa-itu-sekolah-berbasis-multiple.html . jangan sampai malah membuat suatu standar baru karenanya seperti dulu orang yang tidak punya kaki hanya diminta untuk berjalan sebisanya, namun karena ada atlet renang tanpa kaki nanti standar tunadaksa kaki meningkat tidak hanya bisa berjalan tapi harus bisa berenang juga. “itu lihat atlet itu bisa berenang tanpa kaki, masak kamu g bisa?!”. Atau ada atlet lari tunanetra, nanti orang tunanetra yang semestinya berjalan terus disuruh berlari karena melihat ada atlet tunanetra juga. Ingat, setiap orang memiliki standar dan batas kemampuannya masing-masing dan tidak bisa disamakan dengan yang lain.

Previous Post
Next Post

post written by:

1 komentar: