SCHOOL PHOBIA: Curhatan Seorang Anak Korban Kegagalan Sistem Sekolah Kecil

SCHOOL PHOBIA: Curhatan Seorang Anak Korban Kegagalan Sistem Sekolah Kecil



Saya shock betul saat dia bilang "Aku tidak mau sekolah lagi kalau sekolahnya seperti itu, masih baru terus orang-orangnya nakal dan gurunya juga sering kosong. Aku mau sekolah tapi yang sekolahnya negeri dan besar. Aku mau sekolah yang bener-bener sekolah".

Suatu hari aku menemani salah seorang yang lumayan akrab lulusan dari sebuah sekolah kecil di sebuah tempat nongkrong di pusat kota. Dia bercerita tentang kegalauannya ingin meneruskan sekolah ke mana, karena dia trauma dengan sekolah-sekolah kecil yang baru merintis, terutama pada SMP-nya dulu. Dia bercerita lengkap mulai dari pengalaman waktu sekolah di SD hingga lulus SMP ini. Dulu dia bersekolah di SD di daerah Bantul yang memang masih lumayan baru waktu dia masuk, namun seiring berlalunya waktu SD-nya mulai berbenah diri sehingga di tahun-tahun terakhir dia mulai menikmati rasanya sekolah yang sebenarnya. Dia semangat dalam belajar, tekun mengerjakan tugas hingga guru-guru pun menaruh perhatian lebih kepadanya karena semangatnya yang baru saja muncul karena sekolah juga beranjak lebih bagus. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai UN SD yang semakin lama semakin meningkat hingga melebihi rata-rata di sekolahnya kala itu.

Setelah lulus SD yang baru saja menemui bentuk mapan itu dia disuruh orang tuanya untuk bersekolah di sekolah kecil lagi yang katanya memang akan besar kala itu. Saat masuk pertama kali dia merasa senang katanya, karena melihat atmosfer sekolah yang ceria dan penuh kegiatan bermakna. Naasnya dia, kondisi sekolah yang sebenarnya juga baru merangkak naik dengan grafik yang naik terus selama 3 tahun terakhir ini malah ganti manajemen pada akhir semester dua. Sehingga kondisi sekolah jadi kehilangan arah lagi karena fondasi dan tiang yang sebenarnya belum kuat namun harus berganti kepala sekolah yang sebenarnya sudah ingin pindah semenjak istrinya mendapatkan tanggung jawab studi lagi. Kondisi ini diperburuk dengan teman-teman barunya yang bisa dibilang gerombolan anak-anak nakal, ada yang mbolos, nongkrong g jelas, saling membuly yang tidak sehat hingga dia diajari merokok untuk yang pertama kali dengan teman sekelasnya.

Semakin lama dia bersekolah di sana sebenarnya jengkel juga, “hampir setiap hari aku dan temanku ngrasani kondisi sekolah dan guru-guru yang terlambat masuk kelas. Sekolah ini serius g sih?” katanya di tengah-tengah sunyian malam waktu kita nongkrong. Saya memang pernah sesekali berkunjung ke sekolahnya dan memang kala itu sekolahnya masih kecil dan hanya beberapa guru saja yang ada di ruang guru. Entah yang lain pada kemana, padahal beberapa kelas juga ada yang kosong. Sarana dan prasarana pun banyak yang masih belum lengkap, bahkan untuk ruang kelasnya kelihatannya lebih kecil dari ukuran standar SMP. Dia juga curhat kalau kegiatan-kegiatan seru yang diceritakan kakak kelasnya tidak dia alami waktu bersekolah di sana. Belum lagi beberapa bulan lalu sepedanya dicuri oleh orang gila di daerah rumahnya, sehingga dia harus diantar jemput sewaktu berangkat sekolah. Ditambah belum lama ini laptop kesayangannya juga dibawa oleh orang yang mengaku orang puskesmas saat ditinggal di rumah. Lengkap sudah kegalauan semasa SMP-nya sehingga waktu ini dia galau betul ingin meneruskan di mana. Apalagi ditambah dengan nilai UN nya yang tidak terlalu tinggi kalau dibandingkan dengan lulusan se provinsinya, apalagi sistem zonasi yang membatasi jarak sekolahnya dia. Padahal keluarganya mempunyai budaya kalau setelah lulus SMP tidak boleh berada di rumah, harus mulai merantau untuk memupuk kemandirian. Sungguh momen-momen yang mungkin membuatku juga down jika berada di posisinya.

 “Aku g mau sekolah kalau seperti SMP-ku dulu, sia-sia dan buang umur saja. Atau g usah sekolah sekalian, hidup di pondok pesantren saja toh banyak orang yang sukses dengan hanya hidup dari pesantren” katanya lagi. Hhhmmm.... pada waktu itu aku agak shock karena dengan latar belakangku seorang akademis kuliahan S1 dan ingin S2 tapi belum kesampaian ya tidak terima kalau dia tidak sekolah. Minimal lulus SMA/ SMK lah biar sama seperti yang lain, inginku sih sampai S1 juga sebenarnya. Di malam itu aku bercerita banyak juga tentang masa sekolahku dulu yang sebenarnya tidak terlalu membekas hingga sekarang. Aku bisa berkembang pesat saat masuk ke dunia mahasiswa dengan mengikuti berbagai kegiatan organisasi bahkan hingga sekarangpun masih berhubungan baik dengan organisasiku dulu. Aku juga orang alumni pesantren, jadi paham rasanya pesantren bagaimana, walaupun budaya santri jogja terkesan lebih bebas jika dibandingkan daerah lainnya. Namun paling tidak tahu lah, Sehingga bisa membedakan pola pikir santri tulen dan santri tidak tulen, maksudnya santri betul-betul yang mondok belasan tahun tanpa tahu informasi luar dan kuliah dibandingkan dengan santri plus kuliah. Santri dan kuliah pikirannya lebih terbuka sehingga bisa mengintegrasikan dan menginterkoneksikan antara ilmu agama dan ilmu semesta (pinjam slogannya UIN jogja hehe...). Maksudnya aku tidak mau kalau dia tidak sekolah hanya mondok saja, dengan pertimbangan perkembangan zaman juga. Namun mau bagaimana lagi, kita dibangun oleh pengalaman hidupnya masing-masing. Dan yang nantinya akan hidup dan bersekolah juga dia jadi aku g bisa mengintervensi terlalu jauh, karena hidup adalah pilihan. Aku hanya tidak mau dia menyesal kalau dia tidak sekolah karena dia trauma dengan sekolah, trauma dengan dunia pendidikan formal.

Endingnya, sampai artikel ini ditulis dia belum memantapkan diri untuk bersekolah dan masih bersikukuh untuk mondok saja. Semoga dia dibukakan hatinya untuk bersekolah lagi hingga jenjang paling tinggi.

Apakah hanya aku yang menemui orang schoolphobia, dia yang takut bersekolah karena trauma dengan dunia pendidikan yang dulu. Apakah semua sekolah rintisan berujung seperti ini? Mematahkan motivasi-motivasi anak untuk bersekolah. Bukannya sekolah seharusnya memberi terus motivasi-motivasi positif untuk terus berkarya dan meneruskan pendidikannya hingga setinggi-tingginya. Kalau bisa malah melebihi guru-gurunya. Apakah sekolah Anda dulu seperti itu? Soalnya aku dari SD hingga kuliah di lembaga pendidikan negeri yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Sehingga aku pribadi tidak merasakan hal demikian.

NB. Cerita ini adalah kisah nyata. Sengaja aku samarkan semua identitasnya supaya dia tidak di bully. Aku buat cerita ini sebagai refleksi kita bersama bahwa kegagalan sistem pendidikan yang main-main akan berdampak buruk dan berjangka panjang bagi lulusan-lulusannya. Jadi, mari kita lebih serius membuat sistem pendidikan yang menyenangkan sehingga para murid akan ketagihan terus bagaimana nikmatnya belajar

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: