SEKOLAH ADALAH PENDIDIK MORAL BUKAN POLISI MORAL

SEKOLAH ADALAH PENDIDIK MORAL BUKAN POLISI MORAL



Kalimat tersebut masih sangat melekat berkat seminar yang dulu pernah aku adakan sewaktu mahasiswa. Walaupun pada saat itu wira-wiri sibuk kesana-kemari karena menjadi panitia, paling tidak aku sepaham dengan inti dari seminar tersebut. Pak Qowim selaku pemateri menjelaskan secara detail terkait peran sekolah menghadapi siswa-siswanya yang bermasalah. Sekolah hendaknya menjadi pendidik moral, dia bertugas untuk memperbaiki moral dan sikap anak-anak didiknya. Bukannya menghakimi anak atas perbuatan moral yang dilakukannya baik itu di sekolah atau bahkan diluar jam sekolah yang malah menjadikannya sebagai polisi moral. Polisi moral di sini maksudnya dia menjadi sosok yang memutuskan apakah moral anak ini bagus atau jelek. Jika bagus nanti diapresiasi, jika jelek atau bahkan melanggar aturan nanti sekolah yang akan memberikan hukumannya.

Pada saat itu aku masih belum paham betul kasus ini karena memang belum pernah merasakan atau menjumpai di dunia nyata. Baru saja beberapa waktu lalu terjadi sebuah kasus pencurian di sebuah toko kelontong didekat sekolahku oleh komplotan siswa dari berbagai sekolah. Hanya tinggal hitungan jam saja, berita tersebut sudah tersebar luas hingga seantero dunia, apalagi zaman sekarang berita tersebut sangat mudah tersebar melalui grup-grup WA (termasuk di grup sekolah saya karena memang tetangga). Awalnya memang si penyebar mungkin berniat baik untuk memberikan warning atau peringatan kepada warga masyarakat agar senantiasa berhati-hati dari komplotan maling junior itu. Tapi langkah ini menurutku salah besar alih-alih penerima pesan terus berhati-hati, mereka justru malah terus muncul banyak sekali stigma negatif terhadap komplotan siswa itu, keluarga, tempat asal hingga sekolahnya. Efek ini lebih berbahaya daripada mencuri itu sendiri sebenarnya kalau memang dipahami betul.

Apakah kalian sadar bahwa anak yang disebarkan itu masih punya kehidupan dan akan hidup lagi dalam waktu yang masih cukup panjang? Apakah kalian sadar bahwa pelaku juga masih bagian dari masyarakat yang hidup disekitar kalian? Apakah kalian sadar bahwa sekolah yang kalian sebarkan itu tercemarkan nama baiknya hanya karena satu atau dua siswa di samping prestasi puluhan hingga ratusan siswa lain? Terus bagaimana nasib anak dan sekolah yang terkena dampak ini? Karena berbagai hal ini membuat sekolah tersebut akan tidak punya pilihan lain untuk membersihkan nama baiknya kecuali dengan mengeluarkan anak tersebut. Jika saja sekolah masih belum mengeluarkan anak tersebut nantinya budaya nyinyir dan bulliying akan langsung terlontarkan ke anak dan sekolah. Sekolah dianggap gagal mendidik moral anaknya, sekolah dianggap tidak tegas jika masih diperbolehkan bersekolah disana, sekolah akan dianggap masih memelihara maling di sekolah jika tidak dikeluarkan dan nyinyir-nyinyir lain. Sekolah juga akan menanggung beban yang berat jika kepercayaan masyarakat menurun akibat kejadian ini. Kalau sudah seperti ini apakah sekolah punya pilihan lain selain menjadi polisi moral?

Pada umumnya sekolah akan langsung merangkap jabatan sebagai polisi moral, sekolah akan memutuskan dalam sidangnya terkait kasus tersebut. Dan dengan dasar tata tertib sekolah, anak tersebut akan sangat mudah dikeluarkan sekaligus sekolah “cuci tangan” kalau pernah punya siswa yang “kriminal”. Bukannya malah mendidik, membimbing, dan memberikan layanan konseling yang intensif. Memang sekolah bisa jadi akan memperbaiki nama baiknya, namun bagaimana nasib anak yang dikeluarkan? Setelah anak tersebut keluar, pasti dia akan kesulitan mencari sekolah yang bisa menerima di tengah tahun ajaran. Lagian memang ada sekolah yang akan menerima siswa yang dikeluarkan karena kasus kriminal? Pengkapokan katanya, bukannya kapok nanti tidak mencuri lagi malah kalau dia tidak mendapatkan sekolah mungkin dia akan melancarkan aksinya kembali.

Mimpi saya untuk Indonesia ke depan tentu tidak ada lagi kasus-kasus pelanggaran kriminal oleh anak. Namun jika saja masih ada, saya berharap masyarakat dan sekolah tidak malah mendikreditkan atau mendiskriminasi anak tersebut dengan melabeli dan membully karena kesalahannya. Melainkan masyarakat, keluarga bersama dengan sekolah bekerja sama untuk menumbuhkan semangat sekolahnya lagi serta menuntun hatinya yang tersesat ke jalan yang salah. Memang sepertinya pendapat ini sulit diterima orang pada umumnya. Saya hanya menyampaikan kegelisahanku dalam menanggapi kasus yang baru saja terjadi di kawasan sekitar sekolahku.

Ingat, para guru, para kepala sekolah. Kalian adalah pendidik moral, bukannya polisi moral.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: