SCHOOL PHOBIA part 2: Siapa Yang Salah Jika Siswa Tidak Betah Di Sekolah?

SCHOOL PHOBIA part 2: Siapa Yang Salah Jika Siswa Tidak Betah Di Sekolah?


school phobia, a condition wherein a child has a fear of attending school. For these students, walking into a school can be a frightening feeling, and they might be overwhelmed by the school's size, the number of people in it, or feeling lost. This disorder was given its name in 1941 and may also be known as school refusal (Alston, 2018)
School phobia menurut definisi di atas merupakan suatu kondisi di mana anak takut untuk berangkat sekolah. Untuk anak-anak tersebut, berangkat sekolah bisa jadi menakutkan dan mungkin mereka kewalahan dengan sekolah yang besar, orang-orang disekitarnya atau merasa kehilangan. Beberapa waktu lalu saya sempat membahas terkait kasus ini saat dia trauma terhadap sistem pendidikan sekolah kecil yang kurang stabil, link lebih lanjut klik disini. Beberapa waktu setelah itu saya diberi kesempatan untuk bertemu dua orang alumni dari sekolah tersebut lagi. Awalnya saya tidak mengira kalau dia terkena sindrom ini juga, pasalnya dia terus memuji sekolah sebelumnya tapi tetap belum betah di sekolah barunya. Pertemuan pertama ini hanya saya anggap sebagai cerita-cerita belaka.

Pertemuan selanjutnya inilah yang membuatku berpikir ulang tentang dia, pada saat ada sebuah pameran di kota Bantul saya bersama gurunya di sekolah dulu bertemu dengan alumni ini lagi. Entah bagaimana gurunya dulu men-triger  hati anak ini, selang beberapa saat semuanya nangis di masjid sekitar pameran itu. Setelah saya tanya lagi, mereka nangis karena begitu kangennya dengan suasana sekolah yang dulu. Suasana sekolah yang santai, kegiatan yang seru, guru-guru yang perhatian, metode guru menerangkan dengan pendekatan Teacher Centred Learning, kondisi sosial teman-teman yang enak diajak bercanda dan lain-lain. Mereka menceritakan semua hal itu sambil terbata-bata dengan kedua pipi yang basah. Kami sungguh bingung kala itu untuk meredakan isak tangis mereka, terlebih lagi yang saya bingungkan bagaimana bisa di sekolah yang sama ada anak yang trauma terhadap sistem pendidikan di sekolah kecil, dan berasal dari sekolah yang sama ada anak juga yang sangat merindukannya. Mengapa ini bisa terjadi??

Berhari-hari hal ini terus menyangkut dalam pikiranku, hipotesisku pada saat itu... hhmm.. mungkin karena orang memang berbeda-beda, sehingga efek dari orang tersebut juga bisa jadi berbeda. Kalau yang di artikel yang dulu dia tipe orang yang berpola dan menginginkan sistem yang padu dan stabil. Sedangkan orang yang dibahas dalam artikel ini memiliki jiwa sosial yang tinggi sehingga peka dengan kondisi sosial tiap sekolahan. Kemudian perlahan saya melupakan keadaan ini karena anggapan saya hal ini adalah normal, biasalah ada perbedaan persepsi pada tiap-tiap orang.
Namun ketika saya melihat beberapa videonya om deddy corbuzier di YouTube tentang adaptasi dan perubahan, saya kemudian teringat dua alumni tadi. Apa mungkin mereka tidak bisa beradaptasi dan tidak bisa menghadapi perubahan yang ada, kalau bahasanya fourtwnty tidak bisa bergerak dari zona nyaman. Pasalnya mereka terus menerus mengeluhkan model sekolah negeri besar yang saat ini mereka tempati. Mana yang lelah karena 5 hari sekolah, tugas yang numpuk, pendekatan mengajar dengan student centered learning (siswa harus mandiri, dan guru hanya memfasilitasi), teman-teman yang berbeda gaya sosialnya, terlalu banyak jumlah siswa dan guru, kegiatan sekolah yang kurang seru, hingga perhatian guru-guru yang kurang. Banyak sekali sebenarnya yang dikeluhkan dan dibandingkan dengan sekolahnya yang dulu. Menurut perspektifku, mereka bukannya tidak cocok atau tidak nyaman, hanya saja tidak siap bagaimana menghadapi atmosfer sosial yang sebenarnya. Dengan kata lain mereka tidak bisa beradaptasi, atau lebih jauh lagi sekolah sebelumnya tidak menyiapkan hal ini akan terjadi.

Menurut saya mereka termasuk orang yang mengidap school phobia, argumen ini di dukung saat saya melihat status WA anak tersebut yang menuliskan puisi (lupa tidak saya screenshoot) yang isinya tentang sikap dia terhadap sekolah yang sekarang. Dia tidak betah di sekolah dan sebenarnya dia terpaksa untuk sekedar menggugurkan kewajiban saja, aslinya dia tidak ingin ke sekolah itu lagi. Dan ada teman seangkatannya yang juga mempunyai pikiran yang sama bahkan dia pernah bilang ke saya kalau ingin sengaja membuat berbagai kesalahan agar dikeluarkan dari sekolah dan update status WA “F*ck School”. Hhmm... kondisi ini mungkin tidak hanya terjadi di sini saja, bisa jadi di daerah lain mempunyai pengalaman serupa. Tapi jangan terus kemudian menggeneralisir semua sekolah kecil seperti ini dan semua sekolah besar seperti itu. Karena ini saya hanya menemui 3 orang yang seperti ini, dan 1 orang seperti di artikel sebelumnya (Siddicq, 2018). Dan anak-anak lain saya tanya enjoy-enjoy saja, ada yang lebih senang dengan sekolah barunya malah. Yang ingin saya bahas dalam artikel ini fokus pada 3 orang tersebut.

Terus jika sudah seperti ini, siapa yang bisa disalahkan? Menurut saya bisa jadi sekolahnya yang dulu terlalu enjoy atau tidak membekali anak didiknya untuk bisa beradaptasi, atau anaknya yang memang sudah terlalu berada di zona nyaman, atau malah sekolah yang baru memang terlalu keras. Kemudian muncul pertanyaan lagi, memangnya harusnya bagaimana sih sekolah itu, enjoy dengan memperhatikan peserta didiknya dengan seksama, banyak kegiatan refreshing, pembelajaran juga tidak terlalu banyak tugas, serta dipupuk dengan kasih sayang. Atau justru malah sekolah yang serius untuk belajar dengan segala tugas-tugas yang menumpuk, fokus belajar selama 8 sampai 10 jam di sekolah + tugas di rumah. Sekolah serius ini sering disebut sekolah favorit dan pasti laris diburu orang tua bahkan sebelum PPDB dimulai. Tapi untuk anak-anaknya.... lebih memilih yang mana sebenarnya? Sekolah enjoy, atau sekolah serius? Belajar santai atau belajar terforsir? 6 hari sekolah atau 5 hari sekolah? 7 jam sekolah atau 9 jam sekolah? Monggo silakan dipilih sendiri, masa depan bangsa Indonesia ada di tangan kalian sekarang.

Akhirnya pesan terakhir yang dia kirimkan ke saya melalui chat WA,"saya berusaha bertahan pak". Seoalah-olah dia sekolah hanya terpaksa saja. Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh anak dan orang tua yang merasakan hal yang sama, terutama kepada 3 alumni yang kumaksud. Semoga kalian cepat bisa beradaptasi dengan sekolah barunya, kalau memang sekolah itu terlalu keras dan tidak mendukung kalian maka pindahlah. Jika memang tidak mau, ketahuilah bahwa semua kenikmatan harus dijalani dengan susah payah. Tidak ada sesuatu yang indah namun begitu mudah digapai. Beradaptasilah, karena hanya dengan itu jerapah bisa bertahan hidup sampai sekarang. Perubahan pasti terjadi dalam hidup, maka akrablah dengan hal itu.

Alston, C. (2018). What Is School Phobia? - Treatment, Symptoms & Interventions. Retrieved September 15, 2018, from http://study.com/academy/lesson/what-is-school-phobia-treatment-symptoms-interventions.html
Siddicq, A. (2018). Schoolphobia: Curhatan Seorang Anak Korban Kegagalan Sistem Sekolah Kecil. Retrieved September 15, 2018, from http://www.kangsiddicq.net/2018/07/schoolphobia-hasil-kegagalan-sistem_9.html

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: