Untuk orang yang bisa
mendengar: Pernahkah anda merasakan dunia yang begitu sunyi tanpa ada suara
apapun dalam waktu yang lama? Namun dalam kesunyian itu anda tetap bisa
mengobrol, presentasi bahkan bercanda tanpa memunculkan bunyi sama sekali.
Pernahkah? Atau pernahkah anda berkomunikasi dari jarak jauh (sekitar lebih
dari 10 sampai 20 meter) lancar dan semua informasi tersampaikan tanpa
berteriak hingga urat leher pengen putus?
Kalau anda belum pernah,
mungkin anda perlu belajar, paling tidak mengetahui bahasa isyarat. Dalam
tulisan ini saya akan bercerita pengalaman pribadi di Temu Relawan Juru Bahasa
Isyarat 2018 baik sebagai peserta maupun panitia lokal.
Semenjak hari Jumat
sampai Ahad 9-11 Maret 2018, PLJ (Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat) mengadakan
acara Temu Relawan JBI yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia di level
nasional. Acaranya berlangsung di Kaliurang Yogyakarta dan dihadiri sekitar
80an orang dengar dan Tuli dari berbagai daerah di Indonesia. Acara ini
diselenggarakan karena semakin mendesaknya kebutuhan juru bahasa isyarat di
mata teman-teman tuli Indonesia, sekaligus wujud nyata dari UU no 8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas. Adapun berbagai jenis materi yang disampaikan
dalam acara ini yaitu pengenalan PLJ oleh bu Juniati, kemudian Analisis wacana
dan praktek menjurubahasakan isyarat berita di TV oleh Laura (Ketua Pusat
Bahasa Isyarat Indonesia/ PUSBINDO) dan ditutup oleh materi kode etik dan
prinsip-prinsip JBI oleh Surya Sahetapi (orang terkenal pokoknya).
Suasana Temu Relawan JBI. semua serba hitam, tanpa suara. gelaaaaaap... |
Capeeek.....
Acara yang cukup banyak
menguras energi, karena semuanya fokus ke mata (visual) dan sedikit sekali
menggunakan audio. Bahkan kalau dibuat perbandingan bisa jadi 1:9 hampir
semuanya harus fokus ke penglihatan karena semua materi, obrolan, perintah, pertanyaan
maupun sekedar guyonan menggunakan bahasa isyarat. Jadi, kalau lihat hape 10
detik saja, kita sudah sulit mengikuti atau menebak materi yang sedang
disampaikan. Apalagi kalau mata sudah lelah, capek, ngantuk dan g bisa fokus,
hyuuuh.... seperti isyaratnya tidak berarti apapun kecuali orang yang
bergerak-gerak tangannya namun penuh dengan ekspresi. Didukung dengan tidak
adanya media audio secara keseluruhan, rasanya bosan juga dan baru merasakan
begitu pentingnya suara (paling tidak backsound) untuk menghidupkan
suasana.
Ini adalah pertama
kalinya aku mengikuti acara yang Full isyarat ditambah menjadi MC bahasa
isyarat. bukan lagi public speaking yang digunakan, tapi public signing. Acara
ini memang sunyi sekali tidak ada suara apapun kecuali gelak tawa peserta saat
ada yang guyonan. ditambah lokasi kaliurang yang memang di lereng gunung
Merapi, jauh dari peradaban dan jalan raya menambah kesunyian acara kumpulan
juru bahasa isyarat ini. Selain hening suaranya, makna dan manfaat pragmatisnya
juga belum terlalu terdengar langsung ke telinga para JBI yang harusnya menjadi
fokus utama. Jika saja peserta datang dengan pikiran kosong, mimpi kosong,
harapan kosong atau misi tertentu, niscaya mereka pulang dalam kondisi yang
sama kecuali bertambah capek setelah perjalanan jauh. Karena desain acaranya
menurut saya pribadi memang kurang matang. Yaa.... maklum lah, pertama kali
diadakan di Indonesia, tapi awal yang baguslah untuk acara seperti ini. Berikut
komentar-komentar saya terkait acara ini.
Ketua PLJ memberi materi awal terkait JBI. Dokter gigi Tuli |
"kesunyian" makna pragmatis acara
Menurut saya pribadi
(kurang tau kalau peserta lain) acara ini kurang berhasil secara substansial
karena materi yang disampaikan kurang mengena di mata JBI. Padahal judulnya
saja temu JBI nasional, terus pesertanya juga lebih dari 60% JBI dengar, tapi
materi yang disampaikan kurang bermanfaat secara langsung. Sebagai contoh saja
materi analisis wacana, saya pikir awalnya materi ini peserta diajak untuk
menganalisis atau berdiskusi terkait wacana, isu atau pemberitaan mengenai JBI
maupun komunitas Tuli. Namun, dalam prakteknya materi ini sangat berbau
linguistik dasar seperti dibahas dulu morfologi, fonologi, sintaksis, dkk. Bagi
kawan-kawan tuli materi linguistik memang tergolong baru karena memang
penguasaan bahasa Indonesia tulis yang berbeda dari kawan-kawan dengar.
Tapi.... kalau bagi JBI dengar yang apa manfaatnya belajar linguistik dasar
lagi dalam acara temu relawan JBI nasional? Kalau belajar bahasa isyarat secara
teoritis dari kacamata linguistik memang penting dan dibutuhkan sama
teman-teman JBI, kalau teori linguistik tulis dan ngomong terkait analisis
wacana... apakah materi ini cukup urgent disampaikan di waktu sepenting
ini?
Ada lagi materi terkait
praktek menjurubahasaisyaratkan berita di TV dengan cara bekerja antara kawan
Tuli dan teman dengar. Alurnya adalah teman dengar mendengarkan berita yang
seolah-olah dari narator di TV kemudian mengisyaratkan berita tersebut yang
nantinya akan dicopy atau ditiru oleh kawan Tuli yang memang seolah-olah
dishoot masuk TV di box kecil pojok bawah. Menurut saya materi ini....
hmmmmm...... cukup memberikan informasi alur masuk TV dan cara mengcopy
isyarat, namun sekedar informasi dan pengalaman saja tidak lebih. Mungkin
desain prakteknya dibuat model atau menggunakan strategi lain yang bisa
mengakomodir kebutuhan peserta didik untuk mempraktekkan bahasa isyaratnya
lebih lancar.
Praktek Juru bahasa isyarat |
Kemudian acara sarasehan
yang sebenarnya menjadi acara santai yang penting tidak begitu diprioritaskan
dan mendapatkan porsi waktu yang relatif singkat untuk mengakomodir banyaknya
pengalaman di dunia bahasa isyarat. Seharusnya acara ini bisa di desain seperti
acara talkshow mata najwa atau hitam putih yang akan banyak mengkorek
pengalaman JBI-JBI yang sudah berpengalaman di dunia bahasa isyarat. Dalam
prakteknya memang seperti itu, tapi karena kurang desain persiapan kurang
matang dan waktunya singkat, jadi masih banyak aspek yang kurang terkorek
seperti pengalaman belajar isyarat, cara regenerasi JBI, pengalaman JBI di
bidang tertentu, pergerakan JBI di daerah atau di kampus, akses layanan bahasa
isyarat di daerah dan lain-lain. Jika saja sarasehan ini didesain lebih matang,
akan banyak pengalaman yang kita dapatkan tanpa perlu terbang ke lapangan.
Materi terakhir adalah
materi terpenting yang dibawakan oleh sang artist Tuli, Surya Sahetapy mengenai
bagaimana cara menjadi JBI. Menurut saya ini adalah materi pokok dari seluruh
rangkaian acara, materi yang benar-benar dibutuhkan kawan-kawan JBI.
Penyampaian khasnya Surya juga sebenarnya bisa menghipnotis peserta untuk tetap
memperhatikan setiap gerakan jari dan guratan ekspresi diwajahnya. Strategi
model diskusi kelompok kecil kemudian presentasi adalah favorit saya karena
memang mengasah cara berfikir peserta pada topik tertentu. Tapi apa boleh buat,
timmingnya tidak pas, materi sepenting dan semenarik ini ditaruh dipaling
belakang sebelum penutupan. Energi sudah lelah sejak persiapan acara, prosesi
acara, rapat evaluasi, briefing, paginya outbond dan permainan. Pantas saja
kalau pada materi ini beberapa peserta terlihat tidak fokus, lelah, berbaring,
ngantuk hingga ada yang tidur. Sangat disayangkan....
Surya Sahetapy sedang mengobrol |
Sebenarnya saya juga sebagai panitia sih, jadi bertanggung jawab juga atas berjalannya acara ini.
Bersambung......
Sebenarnya banyak sekali
yang bisa diceritakan dari acara tersebut, tapi tulisan kali ini cukup ini dulu
lah, kita komentari dulu baru episode besok kita ceritakan hal-hal dan
pengalaman yang didapatkan. Saya menulis ini karena memang pengen tak meluapkan
hal yang terpendam, berteriak setelah keheningan. Menurut kalian apakah memang
perlu Juru Bahasa Isyarat diberdayakan, dilatih, dan dihargai demi setaranya
akses ke kawan-kawan Tuli?
0 Comments: