Achmad Siddicq
Momen Idul Fitri (lebaran) merupakan momen yang paling tepat untuk memaafkan dan memberi. Memaafkan untuk melupakan masalah dan kesalahan yang sudah terjadi dalam satu tahun silam. Kemudian memberi (baca:shadaqoh) kepada sesama untuk mendapatkan rezeki yang lebih.
Tema lebaran kali ini forGIVE to forGET, sepasang kata singkat namun penuh dengan arti. Kata-kata ini aku dapat waktu perjalanan pulang dari sekolah kemudian melihat papan baliho hotel besar memberikan ucapan selamat Idul Fitri disekitar jalan Solo-Yogyakarta beberapa waktu lalu. Setelah melihat tulisan ini terasa perjalannya melambat, terus memikirkan arti kata yang terkandung. Menurut saya kata ini sangat jarang diucapkan saat hari raya ini, namun tetap memiliki substansi yang sama.
Suatu frasa kata yang memiliki kesamaan yang luar biasa dari berbagai hal. Dari segi tata kata semuanya diawali dengan kata for kemudian dilanjutkan dengan kata kerja selanjutnya. Dimana kata tersebut memiliki dua makna, satu arti saat disambung dengan kata for, dan memiliki arti sendiri yang tetap sinkron saat dipisah.
Mari kita telaah satu persatu, sebenarnya intinya sama dengan yang disampaikan para ustadz-ustadz atau kyai dimanapun. Dimana dia harus saling memaafkan dan saling memberi sesama, namun bagaimana jika kita lihat dengan kacamata lain?
Memaafkan untuk melupakan
Memberi maaf dan melupakan kesalahan yang telah diperbuat orang lain kepada kita tampaknya sangat mudah dibibir. Seringkali kita menerima permintaan maaf semua orang yang meminta, baik melalui media sosial ataupun secara langsung. Namun apakah benar kita memang memaafkan mereka dari semua kesalahan? Memberi maaf berarti berusaha untuk melupakan semua kesalahan yang diperbuat sanak saudaranya dimasa lalu, kemudian menutupinya dengan perbuatan baik. Bukannya silaturahim yang terbentuk malah nostalgia dengan mengingat kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Memberi maaf berarti sudah tidak menganggap adanya keburukan dalam diri sanak saudaranya. Semuanya hanya sarana belajar untuk menjadi lebih baik. Mari kita instrospeksi lagi, apakah kita sudah memberi maaf dengan melupakan semua kesalahan dan kebuukan sanak saudara kita? Memberi maaf bukanlah sesuatu yang gampang, diperlukan kecerdasan emosianal dan sosial yang tinggi untuk memberi maaf secara sempurna. (bahkan penulis juga belum tentu bisa melaksanakannya, masih tahap berusaha)
Hal yang disepelekan lagi selain ini adalah meminta maaf. Banyak orang dengan gampangnya meminta maaf kepada sesamanya tanpa ada yang membebaninya. Padahal meminta maaf lebih berat daripada memberi maaf tingkatannya. Karena meminta maaf harus menurunkan egonya untuk tunduk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Dengan hanya meminta maaf secara umum dengan menyebutkan kata lahir dan batin mungkin dirasa cukup. Namun saat tidak menyebutkan hal yang lebih spesifik mungkin saja sanak saudara kita tidak ingat hal tertentu tersebut kemudian tidak memberi maaf. Sebutsaja waktu mengejeknya hingga menangis, merepoti dengan meminjam baju dan lain-lain. Penyebutan kesalahan yang spesifik bisa menambah kesan kalau kita memang benar-benar perhatian dan meminta maaf secara sungguh-sungguh kepadanya. Orang yang mempunyai rasa egoisme yang tinggi akan sangat sulit melakukan hal ini, karena penyebutan kesalahan saat meminta maaf akan merendahkannya dihadapan orang lain. Sudahkah kita mematikan rasa egoisme kita untuk mendapatkan maaf dari orang lain?
Memberi maaf dan meminta maaf adalah dua hal yang paling sering dilakukan dikala momen lebara seperti ini, walaupun tidak memungkiri dilain waktu juga dilakukan hal yang sama. Mari kita gunakan momen maaf-maafan ini dengan meminta maaf dan memberi maaf dengan cerdas, tidak hanya asal-asalan. Kita manusia diberi akal untuk berfikir kritis tidak hanya mengikuti arus air mengalir saja.
Memberi untuk Menerima
Ada yang mengatakan bahwa memberi adalah hal yang sangat mudah. Hanya dengan menyisikan sedikit harta, waktu atau tenaga yang kita miliki untuk sesama. Namun yang sulit adalah memberi secara terus menerus. Kontiniuitas atau istiqomah adalah hal yang berat, karena inilah saat kita memberi sesuatu akan mendapatkan sesuatu yang lebih sebagai imbalannya. Hanya dengan memberi saja masih dirasa kurang memberikan efek yang nyata bagi pemberi. Kalau semisal kita analogikan seperti hukum kekekalan energi, dimana energi yang dibuat tidak akan pernah hilang tapi hanya dipindahkan saja. Saat kita memberi kebaikan seakan-akan kita telah menabung energi kebaikan untuk kita sendiri. Semakin banyak tabungan kebaikan yang kita timbun maka semakin banyak kebaikan yang akan kita dapatkan.
Menurutku semua orang sudah faham betul secara teoritis, namun belum semua orang bisa menerapkannya dalam kehidupan ini. Mungkin termasuk penulis sendiri, kita tidak mengetahui secara pasti penyebabnya. Bisa jadi karena tidak percayanya kepada efek samping memberi, fikiran pendek yang masih mempunyai paradigma bahwa setelah memberi harta dan tenaga kita bukannya bertambah namun justru berkurang. Paradigma ini lah yang membuat kita semua enggan berbuat baik.
Memaafkan untuk melupakan kesalahan dan keburukan kemudian ditutupi dengan perbuatan saling memberi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih untuk kita manfaatkan.
0 Comments: