Relawan, konsep yang kelihatannya mulia sekali. Orang yang dengan
senang hatinya membantu sesamanya tanpa pamrih dan tidak mengharap suatu
pun. Kata volunteer kerap disandangkan kepada teman-teman yang membantu
dibidang sosial apapun bentuk bantuannya. Konsep ini berlandaskan
non-profit, artinya setiap pekerjaan yang dilakukan oleh relawan tidak
dipungut biaya apapun. Makanya banyak yang ingin menggunakan jasa
relawan ini, disamping “gratis” mereka biasanya ikhlas dalam membantu
sekuat tenaga terhadap yang dibantu.
Tapi apakah relawan di
dunia nyata memang seperti yang dijelaskan seperti itu? Secara ideal
konsep relawan memang seperti yang tertulis diatas, tapi realitas dunia
ini tak fikir tidak semudah dan selembut itu. Baru hari ini konsep
relawan yang ideal itu hampir roboh. Yang awalnya seharusnya memang
berbasis non-profit tapi kali ini memanglah sulit dijalani. Setelah tahu
keilmuan yang dipersembahkan adalah keilmuan dan kemampuan yang langka
dan hanya sedikit orang yang mengetahuinya; Kemampuan desain dan
penerjemah dalam bahasa isyarat. Awalnya dulu memang dipersembahkan
secara cuma-cuma, tidak ada yang menghargai pun tidak ada permasalahan,
bahkan dengan senang hati menawarkan jasa keahlian ini kepada setiap
yang membutuhkan dengan masih meyakini konsep relawan yang ideal. Hal
ini karena dulu didasari fikiran bahwa aku dapat ilmu desain dan bahasa
isyarat dari beberapa orang dimaana aku tidak mengeluarkan biaya
sedikitpun untuk belajar hingga kini yang mungkin dianggap mahir
dikalangannya (boleh lah memuji diri sendiri; hahaha B-) ).
Namun
sekarang aku tak tahu faktor apa yang mendasarinya secara pasti; faktor
ekonomi saya kira. Sejak beberapa bulan terakhir ini aku memang
mendapatkan beberapa tips dan keuntungan finansial dari hasil keilmuan
kerelawanan ini. Ya, walaupun tidak seberapa juga, tapi ya paling tidak
sudah kurang lebih 1 semester tidak pernah ke konter pulsa untuk membeli
pulsa sendiri. Atau cukuplah kalau untuk biaya makan. Walau masih
bergantung kepada orang tua paling tidak sudah lebih mandiri dengan
adanya usaha ini. 2 Hal ini lah yang aku unggulkan dimana-mana, bahkan
nama Siddicq dikenal karena 2 hal ini. Sampai sampai kata Volunteer
melekat pada akhir namanya, seakan-akan dia adalah volunteer sejati.
Namun
akhir akhir ini aku berfikir, apakah masih pantas nama volunteer
melekat setelah kata siddicq? Dia yang telah menisbatkan dirinya sebagai
“katanya” relawan yang non-profit, tidak menginginkan imbalan sama
sekali, kemudian bertambah levelnya menjadi mengharap keuntungan
finansial tapi tidak mematok tarif. Hampir saja dalam beberapa
perbincangan akhir-akhir ini ingin memasuki level pematokan tarif atas
kinerja yang “katanya” berbasis relawan. Atau saat setelah membantu
orang lain dengan keahliannya sekarang agak nggrundel.
Gejolak
batin terus terjadi dalam diri. Apakah selamanya aku ingin membantu
seperti tanpa ada keuntungan finansial secara langsung? Atau mematenkan
keahlian ini sebagai suatu pekerjaan profesional yang harus bekerja
secara profesional dan diberi bayaran secara profesional? Masih bingung
aku mencari jati diri relawan ini, berbagai pertimbangan yang
memberatkan pilihan keduanya. Sebenarnya pada dasarnya aku tidak ingin
dibayar dan mematok harga sekian untuk suatu pekerjaan yang dihasilkan.
Hanya ingin dihargai saja. Dihargai diberikan perbedaan nilai antara
yang bekerja keras dan yang tidak bekerja sama sekali. Dihargai tidak
harus dengan finansial juga, tapi paling tidak terdapat perbedaan karena
orang-orang dengan kehalian seperti ini bisa dibilang sangat langka.
Karena ini memang celah tersembunyi yang dibutuhkan oleh khalayak umum.
0 Comments: