Who Is The Real Volunteer: Renungan Sederhana Yang “Katanya” Relawan (1)

Who Is The Real Volunteer: Renungan Sederhana Yang “Katanya” Relawan (1)

Relawan, konsep yang kelihatannya mulia sekali. Orang yang dengan senang hatinya membantu sesamanya tanpa pamrih dan tidak mengharap suatu pun. Kata volunteer kerap disandangkan kepada teman-teman yang membantu dibidang sosial apapun bentuk bantuannya. Konsep ini berlandaskan non-profit, artinya setiap pekerjaan yang dilakukan oleh relawan tidak dipungut biaya apapun. Makanya banyak yang ingin menggunakan jasa relawan ini, disamping “gratis” mereka biasanya ikhlas dalam membantu sekuat tenaga terhadap yang dibantu.

Tapi apakah relawan di dunia nyata memang seperti yang dijelaskan seperti itu? Secara ideal konsep relawan memang seperti yang tertulis diatas, tapi realitas dunia ini tak fikir tidak semudah dan selembut itu. Baru hari ini konsep relawan yang ideal itu hampir roboh. Yang awalnya seharusnya memang berbasis non-profit tapi kali ini memanglah sulit dijalani. Setelah tahu keilmuan yang dipersembahkan adalah keilmuan dan kemampuan yang langka dan hanya sedikit orang yang mengetahuinya; Kemampuan desain dan penerjemah dalam bahasa isyarat. Awalnya dulu memang dipersembahkan secara cuma-cuma, tidak ada yang menghargai pun tidak ada permasalahan, bahkan dengan senang hati menawarkan jasa keahlian ini kepada setiap  yang membutuhkan dengan masih meyakini konsep relawan yang ideal. Hal ini karena dulu didasari fikiran bahwa aku dapat ilmu desain dan bahasa isyarat dari beberapa orang dimaana aku tidak mengeluarkan biaya sedikitpun untuk belajar hingga kini yang mungkin dianggap mahir dikalangannya (boleh lah memuji diri sendiri; hahaha B-) ).

Namun sekarang aku tak tahu faktor apa yang mendasarinya secara pasti; faktor ekonomi saya kira. Sejak beberapa bulan terakhir ini aku memang mendapatkan beberapa tips dan keuntungan finansial dari hasil keilmuan kerelawanan ini. Ya, walaupun tidak seberapa juga, tapi ya paling tidak sudah kurang lebih 1 semester tidak pernah ke konter pulsa untuk membeli pulsa sendiri. Atau cukuplah kalau untuk biaya makan. Walau masih bergantung kepada orang tua paling tidak sudah lebih mandiri dengan adanya usaha ini. 2 Hal ini lah yang aku unggulkan dimana-mana, bahkan nama Siddicq dikenal karena 2 hal ini. Sampai sampai kata Volunteer melekat pada akhir namanya, seakan-akan dia adalah volunteer sejati.
Namun akhir akhir ini aku berfikir, apakah masih pantas nama volunteer melekat setelah kata siddicq? Dia yang telah menisbatkan dirinya sebagai “katanya” relawan yang non-profit, tidak menginginkan imbalan sama sekali, kemudian bertambah levelnya menjadi mengharap keuntungan finansial tapi tidak mematok tarif. Hampir saja dalam beberapa perbincangan akhir-akhir ini ingin memasuki level pematokan tarif atas kinerja yang “katanya” berbasis relawan. Atau saat setelah membantu orang lain dengan keahliannya sekarang agak nggrundel

Gejolak batin terus terjadi dalam diri. Apakah selamanya aku ingin membantu seperti tanpa ada keuntungan finansial secara langsung? Atau mematenkan keahlian ini sebagai suatu pekerjaan profesional yang harus bekerja secara profesional dan diberi bayaran secara profesional? Masih bingung aku mencari jati diri relawan ini, berbagai pertimbangan yang memberatkan pilihan keduanya. Sebenarnya pada dasarnya aku tidak ingin dibayar dan mematok harga sekian untuk suatu pekerjaan yang dihasilkan. Hanya ingin dihargai saja. Dihargai diberikan perbedaan nilai antara yang bekerja keras dan yang tidak bekerja sama sekali. Dihargai tidak harus dengan finansial juga, tapi paling tidak terdapat perbedaan karena orang-orang dengan kehalian seperti ini bisa dibilang sangat langka. Karena ini memang celah tersembunyi yang dibutuhkan oleh khalayak umum.
Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: