Baik atau Buruk kalau Nilai UNBK Turun dari Tahun ke Tahun (Mini Riset dan Data UN 2015-2019)

Baik atau Buruk kalau Nilai UNBK Turun dari Tahun ke Tahun (Mini Riset dan Data UN 2015-2019)


uU eN Be Ka. Tidak ada habis-habisnya kegiatan ini dibahas sejak puluhan tahun lalu, selalu saja memberikan dampak yang membekas di hati para pengikut maupun korban. UN sebenarnya sudah diadakan sudah 53 tahun sejak 1965 (dulu pertama kali disebut dengan Ujian Negara) (Wikipedia, 2018) namun tetap saja masih banyak masalah yang terjadi baik secara anggaran, psikologi, hingga masa depan anak secara tidak langsung. Event penilaian dan evaluasi nasional ini yang seberanya ditujukan untuk mengendalikan mutu pendidikan namun disalah artikan masyarakat menjadi momok yang luar biasa menakutkan. Mari kita lihat sejenak perkembangan standar minimal kelulusan dilihat dari nilai UN (Wikipedia, 2018)

Terlihat sejak tahun 2005 UN sudah dijadikan standar kelulusan dengan nilai minimal per mapel dan rata-rata semua mapel adalah 4.25. Angka yang terlihat tidak terlalu tinggi sebenarnya dan mungkin angka yang terlalu kecil bagi sekolah-sekolah papan atas. Tapi angka itu cukup membuat siswa di seantero Indonesia Raya kalang kabut ingin menaikkan nilai dengan segala cara. Apalagi setiap tahun standar lulusnya naik bahkan yang sebenarnya sudah bisa lulus dengan nilai 8.00 pun tetap ikut les-les dan belajar hingga malam untuk bisa mencapai angka yang lebih tinggi. Mungkin memang angka yang dihasilkan cukup tinggi karena beberapa kebijakan tersebut, tapi apakah ada yang memikirkan tentang dampak emosi, psikologi dan tekanan yang dialami anak serta orang tuanya?

Gambar di atas menunjukkan jumlah siswa yang tidak lulus SMP/ MTs di tahun 2013/2014 di semua provinsi di Indonesia (Purwanto, 2015, p. 11). Kemudian ada yang menyatakan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2014 kurang lebih UN sudah memakan 11 korban jiwa (Ginanti, 2018). Tidak banyak memang jika kita lihat dari jumlah yang dipaparkan, namun bisakah kita merasakan perasaan dari anak atau keluarga dari angka yang sedikit itu? Bagaimana mereka putus asa dan hilang harapan ketika sudah belajar 3 tahun tapi hanya karena gagal ujian selama 4 hari nyawa dan mental kejiwaan menjadi taruhannya. Tidak banyak memang yang terekspos oleh media, namun ada banyak anak dan orang tua yang betul-betul stres dan ketakutan jika tidak lulus. Sebenarnya secara angka tidak banyak juga hanya 0.06% yang tidak lulus, terus apa masalahnya? Bayangkan saja betapa malunya anak yang sudah 3 tahun sekolah di SMP bersama teman-teman sepermainannya tapi setelah pengumuman dia tidak lulus akhirnya dia dikucilkan dari teman-temannya. Dampaknya mental anak menjadi kurang tangguh karena selalu didoktrin untuk meningkatkan nilai UN tanpa memedulikan hal-hal lainnya. Kak Seto (dalam Zahra, 2014) pernah menyatakan bahwa "Sebetulnya, isi dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) itu ada pendidikan atau kecerdasan etika, estetika dan iptek. Nah, pemerintah cenderung mengejar sisi ipteknya saja (kecerdasan logika). Jadi wajar banyak anak-anak sekarang menjadi generasi rapuh,". Jadi memang pelaksanaan UN yang demikian bisa meningkatkan kognisi anak dengan indikator nilai UNnya meningkat. Namun memberikan dampak buruk pada afeksi anak diindikasikan dengan mental yang rapuh, meyakini kesuksesan adalah hanya angka, stres, mentalnya jatuh, ketakutan yang keterlaluan dll.

Akhirnya UN diubah juga
Reformasi UN secara besar-besaran terjadi pada saat zamannya pak Jokowi presidennya dan Pak Anis menterinya di tahun 2015 lalu. UN yang dulu menjadi penentu kelulusan, namun sekarang sudah ditentukan oleh sekolah masing-masing. Dulu UN masih menggunakan kertas dan pensil dengan pendistribusian 100.000 butir soal dalam 35 Juta eksemplar naskah secara luar biasa, sekarang sudah menggunakan komputer yang pendistribusiannya melalui proses sinkronisasi yang selesai dalam hitungan menit langsung menuju server di setiap sekolah. Beberapa perbaikan secara lebih detail dijelaskan dalam gambar di bawah ini (KEMENDIKBUD RI, 2015, p. 24)

Setelah di rubah secara besar-besaran terkait pelaksanaan UN, sejak tahun 2015 media-media nasional sudah tidak lagi meliput tentang anak-anak yang stres hingga gantung diri, kecurangan pelaksanaan ujian, kebocoran soal dan jawaban, hingga jual beli kunci jawaban. Anak-anak dan orangtua juga sekarang tidak terlalu stres memikirkan Ujian Kelulusan yang sangat sakral. Sekarang anak-anak lebih enjoy belajar dan bermain di sekolah dan dirumah tanpa diselimuti bayang-bayang ujian yang menakutkan. Terbukti dengan naiknya IIUN (Index Integritas Ujian Nasional) yang cukup signifikan, menteri pendidikan waktu itu Anis Baswedan menyatakan bahwa Kenaikan IIUN berarti hasil UN-nya semakin jujur. Harapannya tentu bisa lebih tepat digunakan untuk memetakan capaian pendidikan agar mutunya semakin baik (Mutiara, 2016). Semakin tinggi angka IIUN nya berarti sekolah tersebut lebih semakin jujur dan bersih dalam penyelenggaraan ujian (Setiawan, 2015). Untuk lebih tepatnya kenaikan IIUN dilihat dalam tabel berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 5):

Jika kita lihat tabel di atas kenaikan IIUN terjadi di semua lini baik di MTs atau  di SMP swasta maupun negeri. Walaupun indikator alat ukur IIUN saya tidak paham, namun dengan angka-angka ini berarti kurva pendidikan kita sedang naik secara sikap dan penyelenggaraannya. Bagaimanapun tetap tidak bisa dipungkiri jika nilai rata-rata UN kita turun cukup banyak. Apalagi jika kita pisah jenis penyelenggaraannya, moda UNBK terbukti menurunkan nilai lebih banyak dibandingkan dengan UNKP. Rata-rata penurunan yang terjadi adalah 9.00, untuk data yang lebih jelas dan lengkap bisa dilihat di tabel berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 8):

Kabar buruknya lagi nilai yang turun di semua mata pelajaran. Seperti yang ditampilkan di tabel berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 9):

Kalau kita lihat di sebaran rata-rata nilai PPU 2 Kab Bantul 2018/2019 terlihat 50% lebih siswa berada pada rentang 30 – 50 (Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul, 2019, p. 4).


Range nilai
Jumlah
Persentase
Kumulatif
100-90
11
0.09%
11
90-80
161
1.32%
172
80-70
519
4.25%
691
70-60
1213
9.93%
1904
60-50
2283
18.69%
4187
50-40
3541
28.99%
7728
40-30
3311
27.11%
11039
30-20
1028
8.42%
12067
20-10
118
0.97%
12185
10-0
28
0.23%
12213
Mengapa Fenomena ini bisa terjadi?
Jika kita lihat tren nilai 2016 dan 2017 memang mengalami penurunan hampir di semua lini kemudian angka IIUN malah meningkat secara bersamaan. Apa yang terjadi dengan UN kita? Menurut analisis saya paling tidak ini dikarenakan ada dua hal perubahan terkait penyelenggaraan UN yang dilakukan sekaligus ditahun 2015, yaitu UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan dan mulai diberlakukannya UNBK.

Anak-anak secara otomatis turun minat belajar dan motivasi memiliki nilai yang tinggi karena memang punya nilai kecil pun tetap yakin lulus. Dulu mendapatkan nilai 4.00 saja sudah was-was karena sudah merupakan batas minimal kelulusan. Namun sekarang ada yang mendapatkan nilai 2.0 saja malah menjadi bahan candaan teman-teman dan gurunya. Sebab sekolah sudah pasti meluluskannya, karena sekolah akan kena teguran dari dinas jika tidak meluluskan siswanya. Jadi, daripada ribet-ribet sama dinas, dicap sekolah tidak becus meluluskan siswanya, dimarahi orang tua, mental anak jadi down ah sudah lah luluskan saja. Biar ganti siswa, ganti suasana daripada ketemu siswa ‘bodoh’ itu lagi tahun depan, sepertinya hal ini umum terjadi di masyarakat dan beberapa sekolah sekarang. Kenapa aku tahu? Ya karena aku bagian dari itu, aku termasuk kepala sekolah yang seperti itu juga. Apalagi sekarang sudah berjalan di tahun ke empat setelah ditentukan bahwa kelulusan dipegang sama sekolah. Jadi motivasi untuk menggapai nilai tinggi sudah tidak terlalu bergairah lagi bagi beberapa orang.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan RI semakin menggencarkan pelaksanaan UNBK di seluruh sekolah di Indonesia. Tahun 2019 ini 64.8% SMP di Indonesia akan mengadakan UNBK baik yang sudah mandiri atau menumpang di sekolah lain (KEMENDIKBUD RI, 2018). Padahal tahun 2017 masih 19.80% SMP yang sudah menjalankan UNBK (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 2), berarti tahun ini banyak sekolah yang lebih melek teknologi. Dibalik beberapa keunggulan pelaksanaan UNBK (Siddicq, 2018) ternyata memang tidak bisa dipungkiri ada efek buruknya. Secara nilai jelas menurun, kita tengok lagi tabel dari KEMENDIKBUD RI (2017, p. 5,9) di sana jelas tertulis nilai UNKP jelas lebih unggul daripada UNBK. Selain itu memang negara kita ini masih banyak yang kagok memegang komputer atau laptop sebagai bagian dari pembelajaran dan ujian. Anak-anak kita yang sekarang duduk di bangku sekolah memang generasi Z (lahir dari tahun 1995-2010) di mana mereka lahir sudah langsung berhadapan dengan teknologi canggih (Wikipedia, 2019). Tapi kebanyakan (ya memang tidak semua) anak-anak belum menggunakan teknologi itu untuk belajar dan ujian, kebanyakan mereka pakai untuk bermain dan hiburan semata. Sehingga ketika mengerjakan ujian menggunakan komputer masih banyak yang kagok bahkan grogi dan menjadi blank. Ini memang benar-benar terjadi, saya melihat dan mendengar sendiri kondisi anak-anak sewaktu mengerjakan simulasi UNBK pertama kemarin Desember 2018. Bahkan ada anak yang bingung mencari karakter bintang (*), selain itu guru-guru yang ikut simulasi juga berpendapat demikian. Padahal guru-guru tersebut seharusnya sudah lebih akrab dengan teknologi karena termasuk generasi Y. Tapi tetap saja beberapa guru di sekolah saya kagok saat ujian yang mengakibatkan lupa beberapa rumus dan jawabannya. Yaaa.... memang tidak semuanya seperti ini, ada anak yang memang lebih enjoy menggunakan komputer ketika ujian karena lebih mudah, tidak melingkari jawaban, tidak ribet ngisi data diri dll. Tapi tetap saja ada kekurangan pelaksanaan UNBK ini seperti yang disebutkan diatas.

Di samping faktor UN itu sendiri sebenarnya menurut saya ada hal lain yang mempengaruhi turunnya nilai, yaitu faktor teknologi. Generasi Z yang memang semasa anak-anak sudah langsung mengenal teknologi sosial media secara masif, namun masih belum bisa menggunakannya sesuai dengan yang seharusnya. Kita bahas terkait generasi Z pada artikel selanjutnya karena memang membutuhkan pembahasan yang lebih detail dan komprehensif.

Terus, Apakah ini pertanda baik atau buruk?
Jika kita lihat perubahan nilai di satu sisi memang ini adalah kabar buruk karena angka-angka prestasi akademik semakin menurun. Kemudian motivasi anak-anak untuk belajar giat rajin dan tekun semakin menurun. Hal ini terbukti dengan menurunnya nilai rerata UN per-tahun di hampir semua sekolah di Indonesia. Berikut adalah 21 sekolah dengan nilai tertinggi di Kabupaten Bantul mulai dari tahun 2015 hingga 2017 (PUSPENDIK KEMENDIKBUD RI, 2019).

Coba, amati perubahan nilai dari tahun 2015 ke 2016 dan 2017. Kebanyakan terjadi penurunan nilai rata-rata UN, tentu hal ini kabar buruk bagi para pecinta angka-angka. UN 2018 memang belum muncul namun berdasarkan PPU (Persiapan Pemantapan Ujian) Kab Bantul ke 2 nilai rata-ratanya jelas turun drastis (Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul, 2019).

Coba kalau punya waktu luang silahkan bandingkan satu persatu nama sekolahannya. Jika tidak punya waktu banyak paling cepat adalah di nomor 1 dengan sekolah yang sama dulu mendapatkan angka 91 (2015), 90 (2016), 88 (2017) dan 75 (PPU 2 Bantul 2019) memang nilai PPU biasanya lebih rendah jika dibandingkan dengan waktu ujian yang sesungguhnya. Namun tetap potensi penurunan nilai sangat mungkin terjadi jika melihat pola yang seperti ini.

Hal ini tentu disadari oleh semua kalangan terutama dinas di daerah-daerah, orang tua dan beberapa sekolah yang katanya “favorit”. Mereka bisa dipastikan tetap terus menggenjot nilai UN apapun yang terjadi seperti ketika saya setiap datang ke rapat kepala sekolah di Dinas Kabupaten atau di MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) Kabupaten pasti selalu membahas tentang tujuan pendidikan kita adalah menyaingi kabupaten sebelah dalam nilai UN-nya sehingga kita bisa menjadi nomor 2 bahkan 1 di Provinsi ini. Hampir setiap pertemuan pasti membahas itu, selain itu program-program pemerintah juga masih menganggap nilai UN adalah hal sakral yang harus ditingkatkan tanpa mempedulikan apapun. Walaupun penerimaan peserta didik baru sekarang sudah menggunakan sistem zonasi jarak, tapi tetap juga nilai UN menjadi pertimbangan kedua untuk masuk ke sekolah negeri. Ujiannya sudah tidak menganggap nilai itu penting, tapi pemerintah tetap saja menggenjot nilai dan menggunakannya sebagai pertimbangan masuk ke sekolah selanjutnya.

Begitu juga dengan beberapa orang tua dan sekolah yang dianggap “favorit” tetap memaksa anak untuk belajar diluar batas demi mendapatkan nilai yang tinggi. Angka 8 saja sekarang tidak cukup bagi beberapa orang, harus 9 atau 10 agar mendapatkan gelar yang terbaik di sekolahan. Beberapa langkah ampuh dilakukan semua pihak seperti memadatkan jam pelajaran menjadi 5 hari sekolah seperti orang bekerja kantoran sehingga pulangnya sore bahkan ada yang sampai malam. Selain itu lembaga bimbingan belajar sekarang tidak pernah sepi bahkan ada beberapa lembaga belajar yang baru saja muncul dan melayani privat untuk datang kerumah. Praktek-praktek ini semakin banyak dan umum terjadi di masyarakat karena memang niatnya baik, untuk meningkatkan nilai anak. Dampaknya anak-anak yang diperlakukan demikian kebanyakan banyak yang stres dan tertekan sehingga kurang memiliki masa bermain di waktu kecil. Masa anak-anaknya hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar lagi tanpa ada variasi yang berarti, sehingga dimungkinkan masa bermain akan dimaksimalkan ketika sudah tidak ada tekanan (ketika kuliah atau selepasnya). Bahkan sebenarnya banyak anak-anak juga yang secara suka rela dan membiarkan masa kecil dan masa bermainnya direnggut oleh ujian dan sekolah. Ya semoga masa depan putra-putri Indonesia semakin tahun semakin baik.

Positif
Ternyata dibalik semua hal-hal penurunan angka-angka diatas ada hal positif yang sangat saya sukai dan memang sesuai dengan diskusi-diskusi kita sewaktu di bangku perkuliahan. Pertama, UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan sama sekali, Sebab kami melihat bahwa hal ini tidak benar secara ideologis ataupun psikologis. Siswa yang sudah belajar 3 tahun di sekolah tapi yang menentukan kelulusan pemerintah dan hanya dalam waktu 4 hari saja. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ya memang ada yang mengatakan harus ada standarisasi, namun perlu dipahami semua orang tidak sama dan tidak adil kalau standarisasinya nilai Matematika, Bahasa Inggris, IPA, Bahasa Indonesia. Lagian tidak perlu juga kelulusan ditentukan oleh nilai-nilai itu, karena kemampuan siswa itu sangat kompleks dan beragam sehingga tidak bisa kalau dikerucutkan dengan angka angka saja. Mantab, sekarang yang menentukan kelulusan adalah pihak sekolah murni tanpa ada campur tangan pemerintah sama sekali.

Kedua, Biaya UN sekarang lebih murah. Dulu pengadaan UN dilakukan dengan cara pencetakan 35 juta eksemplar naskah soal dan jawaban yang menghabiskan dana milyatan dengan pendistribusian yang super ketat lagi ribet kepada sekitar 70.000 sekolah di seluruh Indonesia (KEMENDIKBUD RI, 2015, p. 25). Sekarang dengan adanya UNBK biaya-biaya itu sudah tidak ada lagi, ya memang terus kemudian dialihkan untuk membayar operasional sekolah, proktor maupun teknisi. Namun menurut saya pembiayaan ini lebih tepat sasaran karena dibayarkan ke pihak penyelenggara ujian langsung bukan malah memperkaya pihak ke tiga. Ketiga, anak-anak sudah terlihat lebih enjoy dan tidak tertekan dengan standar nilai UN pemerintah. Memang hal ini terlihat sepele, namun akan berefek jangka panjang pada sifat emosi anak. Sekarang anak-anak bisa menggunakan energinya untuk mengasah kemampuan diri dan potensi hebatnya masing-masing dibandingkan harus berkutat pada pelajaran yang sebenarnya tidak dia sukai.

Keempat, UN semakin tidak penting. Menurut saya hal ini memang perlu diapresiasi dan dilanjutkan karena selama ini fokus pemerintah hanya tentang angka-angka dan nilai. Namun mengesampingkan kebermanfaatan materi ajar dan penyampaian pembelajaran di sekolahan. Selain itu sudah bertahun-tahun nilai UN dijadikan pintu masuk pertama setiap sekolah “yang katanya favorit”. Hal ini membuat masyarakat mengkotak-kotakkan pendidikan dari input nilai masuk di sekolahnya. Padahal kualitas sekolah akan di terlihat betul-betul keren jika dia bisa menerima apapun inputnya namun bisa mengeluarkan output yang keren karena memang prosesnya betul-betul keren. Sekarang PPDB sudah menggunakan zonasi dan jarak sebagai pertimbangan pertama, baru kemudian nilai UN setelahnya. Hal ini membuat semua sekolah mendapatkan input yang rata kualitasnya.

Mungkin seperti ini mini riset yang bisa saya tulis atas dasar kegelisahan tentang UN. Semoga bermanfaat dan bisa terus berkarya.


Daftar Pustaka

Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul. (2019). Hasil PPU 2 SMP/ MTs Kab. Bantul 2018/2019. Bantul: Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul.
Ginanti, A. R. (2018, March 1). Sejak Tahun 2007, 11 Murid Meninggal Karena UN. Depresi Lalu Bunuh Diri Penyebab Terbanyak [blogpost]. Retrieved January 10, 2019, from http://cewekbanget.grid.id/read/06864884/sejak-tahun-2007-11-murid-meninggal-karena-un-depresi-lalu-bunuh-diri-penyebab-terbanyak
KEMENDIKBUD RI. (2015, January). Kebijakan Perubahan Ujian Nasional. Jakarta. Retrieved from https://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/un2015/Ujian%20Nasional%202015%20v0.4.pdf
KEMENDIKBUD RI. (2017). Konferensi Pers UN 2017 Jenjang SMP UN untuk memantau, mendorong dan meningkatkan mutu pembelajaran (p. 23). Presented at the Konferensi Pers UN 2017, Jakarta: Kemendikbud RI. Retrieved from https://kemdikbud.go.id/main/files/download/9c7fdf36a39328d
KEMENDIKBUD RI. (2018, December 30). Ujian Nasional Berbasis Komputer 2018/2019. Retrieved December 30, 2018, from https://unbk.kemdikbud.go.id/
Mutiara, P. (2016, June 11). Nilai UN Turun,Rerata IIUN Naik [News]. Retrieved January 12, 2019, from http://mediaindonesia.com/read/detail/50225-nilai-un-turun-rerata-iiun-naik
Purwanto. (2015). UN Murni Tahun 2014 Prov. Sulawesi Barat Kabupaten Mamuju. Presented at the Pusat Data dan Statistik Pendidikan-Kebudayaan Setjen, Kemdikbud, Jakarta. Retrieved from http://sdm.data.kemdikbud.go.id/upload/files/Profil%20Prov.%20Sulawesi%20Barat%20-%20Kab.%20Mamuju%20(2).pdf
PUSPENDIK KEMENDIKBUD RI. (2019, January 13). Rekap Hasil Ujian Nasional (UN) Jenjang SMP/ MTs Prov. DIY., Kab. Bantul. Retrieved January 12, 2019, from https://puspendik.kemdikbud.go.id/hasil-un/
Setiawan, Y. (2015, December 30). IIUN Untuk Menumbuhkan Sikap Integritas Dari Sekolah. Retrieved January 12, 2019, from http://psmk.kemdikbud.go.id/konten/1373/iiun-untuk-menumbuhkan-sikap-integritas-dari-sekolah
Siddicq, A. (2018, December 31). Mengapa Harus Ada UNBK SMP/ MTs: 5 Keunggulan UNBK vs UNKP [Ketikan Kang SIddicq]. Retrieved January 12, 2019, from http://www.kangsiddicq.net/2018/12/mengapa-harus-ada-unbk-smp-mts-5.html
Wikipedia. (2018). Ujian Nasional. In Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Wikipedia.org. Retrieved from https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ujian_Nasional&oldid=13689953
Wikipedia. (2019). Generasi Z. In Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Wikipedia.org. Retrieved from https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Generasi_Z&oldid=14656296
Zahra, N. (2014, May 12). Seto Mulyadi: UN Hanya Ciptakan Siswa Stres! [News]. Retrieved January 10, 2019, from https://megapolitan.kompas.com/read/2014/05/12/1355327/Seto.Mulyadi.UN.Hanya.Ciptakan.Siswa.Stres.


Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: