uU eN Be Ka. Tidak
ada habis-habisnya kegiatan ini dibahas sejak puluhan tahun lalu, selalu saja
memberikan dampak yang membekas di hati para pengikut maupun korban. UN
sebenarnya sudah diadakan sudah 53 tahun sejak 1965 (dulu pertama kali disebut
dengan Ujian Negara) (Wikipedia, 2018) namun tetap saja masih banyak masalah yang terjadi baik secara
anggaran, psikologi, hingga masa depan anak secara tidak langsung. Event
penilaian dan evaluasi nasional ini yang seberanya ditujukan untuk
mengendalikan mutu pendidikan namun disalah artikan masyarakat menjadi momok
yang luar biasa menakutkan. Mari kita lihat sejenak perkembangan standar
minimal kelulusan dilihat dari nilai UN (Wikipedia, 2018)
Terlihat sejak
tahun 2005 UN sudah dijadikan standar kelulusan dengan nilai minimal per mapel dan
rata-rata semua mapel adalah 4.25. Angka yang terlihat tidak terlalu tinggi
sebenarnya dan mungkin angka yang terlalu kecil bagi sekolah-sekolah papan
atas. Tapi angka itu cukup membuat siswa di seantero Indonesia Raya kalang
kabut ingin menaikkan nilai dengan segala cara. Apalagi setiap tahun standar
lulusnya naik bahkan yang sebenarnya sudah bisa lulus dengan nilai 8.00 pun
tetap ikut les-les dan belajar hingga malam untuk bisa mencapai angka yang
lebih tinggi. Mungkin memang angka yang dihasilkan cukup tinggi karena beberapa
kebijakan tersebut, tapi apakah ada yang memikirkan tentang dampak emosi,
psikologi dan tekanan yang dialami anak serta orang tuanya?
Gambar di atas
menunjukkan jumlah siswa yang tidak lulus SMP/ MTs di tahun 2013/2014 di semua
provinsi di Indonesia (Purwanto, 2015, p. 11). Kemudian ada yang menyatakan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2014
kurang lebih UN sudah memakan 11 korban jiwa (Ginanti, 2018). Tidak banyak memang jika kita lihat dari jumlah yang dipaparkan,
namun bisakah kita merasakan perasaan dari anak atau keluarga dari angka yang
sedikit itu? Bagaimana mereka putus asa dan hilang harapan ketika sudah belajar
3 tahun tapi hanya karena gagal ujian selama 4 hari nyawa dan mental kejiwaan
menjadi taruhannya. Tidak banyak memang yang terekspos oleh media, namun ada
banyak anak dan orang tua yang betul-betul stres dan ketakutan jika tidak lulus.
Sebenarnya secara angka tidak banyak juga hanya 0.06% yang tidak lulus, terus
apa masalahnya? Bayangkan saja betapa malunya anak yang sudah 3 tahun sekolah
di SMP bersama teman-teman sepermainannya tapi setelah pengumuman dia tidak
lulus akhirnya dia dikucilkan dari teman-temannya. Dampaknya mental anak menjadi
kurang tangguh karena selalu didoktrin untuk meningkatkan nilai UN tanpa
memedulikan hal-hal lainnya. Kak Seto (dalam Zahra, 2014) pernah
menyatakan bahwa "Sebetulnya, isi dalam Badan Standar Nasional Pendidikan
(BNSP) itu ada pendidikan atau kecerdasan etika, estetika dan iptek. Nah,
pemerintah cenderung mengejar sisi ipteknya saja (kecerdasan logika). Jadi
wajar banyak anak-anak sekarang menjadi generasi rapuh,". Jadi memang
pelaksanaan UN yang demikian bisa meningkatkan kognisi anak dengan indikator
nilai UNnya meningkat. Namun memberikan dampak buruk pada afeksi anak
diindikasikan dengan mental yang rapuh, meyakini kesuksesan adalah hanya angka,
stres, mentalnya jatuh, ketakutan yang keterlaluan dll.
Akhirnya UN diubah juga
Reformasi UN secara
besar-besaran terjadi pada saat zamannya pak Jokowi presidennya dan Pak Anis
menterinya di tahun 2015 lalu. UN yang dulu menjadi penentu kelulusan, namun
sekarang sudah ditentukan oleh sekolah masing-masing. Dulu UN masih menggunakan
kertas dan pensil dengan pendistribusian 100.000 butir soal dalam 35 Juta
eksemplar naskah secara luar biasa, sekarang sudah menggunakan komputer yang
pendistribusiannya melalui proses sinkronisasi yang selesai dalam hitungan
menit langsung menuju server di setiap sekolah. Beberapa perbaikan secara lebih
detail dijelaskan dalam gambar di bawah ini (KEMENDIKBUD RI, 2015, p. 24)
Setelah di rubah
secara besar-besaran terkait pelaksanaan UN, sejak tahun 2015 media-media
nasional sudah tidak lagi meliput tentang anak-anak yang stres hingga gantung
diri, kecurangan pelaksanaan ujian, kebocoran soal dan jawaban, hingga jual
beli kunci jawaban. Anak-anak dan orangtua juga sekarang tidak terlalu stres
memikirkan Ujian Kelulusan yang sangat sakral. Sekarang anak-anak lebih enjoy
belajar dan bermain di sekolah dan dirumah tanpa diselimuti bayang-bayang ujian
yang menakutkan. Terbukti dengan naiknya IIUN (Index Integritas Ujian Nasional)
yang cukup signifikan, menteri pendidikan waktu itu Anis Baswedan menyatakan
bahwa Kenaikan IIUN berarti hasil UN-nya semakin jujur. Harapannya tentu bisa
lebih tepat digunakan untuk memetakan capaian pendidikan agar mutunya semakin
baik (Mutiara, 2016). Semakin tinggi angka IIUN nya berarti sekolah tersebut lebih semakin
jujur dan bersih dalam penyelenggaraan ujian (Setiawan, 2015). Untuk lebih tepatnya kenaikan IIUN dilihat dalam tabel berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 5):
Jika kita lihat
tabel di atas kenaikan IIUN terjadi di semua lini baik di MTs atau di SMP swasta maupun negeri. Walaupun
indikator alat ukur IIUN saya tidak paham, namun dengan angka-angka ini berarti
kurva pendidikan kita sedang naik secara sikap dan penyelenggaraannya. Bagaimanapun
tetap tidak bisa dipungkiri jika nilai rata-rata UN kita turun cukup banyak.
Apalagi jika kita pisah jenis penyelenggaraannya, moda UNBK terbukti menurunkan
nilai lebih banyak dibandingkan dengan UNKP. Rata-rata penurunan yang terjadi
adalah 9.00, untuk data yang lebih jelas dan lengkap bisa dilihat di tabel
berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 8):
Kabar buruknya lagi nilai yang turun di semua mata pelajaran. Seperti yang
ditampilkan di tabel berikut (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 9):
Kalau kita lihat di
sebaran rata-rata nilai PPU 2 Kab Bantul 2018/2019 terlihat 50% lebih siswa
berada pada rentang 30 – 50 (Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul, 2019,
p. 4).
Range nilai
|
Jumlah
|
Persentase
|
Kumulatif
|
100-90
|
11
|
0.09%
|
11
|
90-80
|
161
|
1.32%
|
172
|
80-70
|
519
|
4.25%
|
691
|
70-60
|
1213
|
9.93%
|
1904
|
60-50
|
2283
|
18.69%
|
4187
|
50-40
|
3541
|
28.99%
|
7728
|
40-30
|
3311
|
27.11%
|
11039
|
30-20
|
1028
|
8.42%
|
12067
|
20-10
|
118
|
0.97%
|
12185
|
10-0
|
28
|
0.23%
|
12213
|
Mengapa Fenomena ini bisa terjadi?
Jika kita lihat
tren nilai 2016 dan 2017 memang mengalami penurunan hampir di semua lini
kemudian angka IIUN malah meningkat secara bersamaan. Apa yang terjadi dengan
UN kita? Menurut analisis saya paling tidak ini dikarenakan ada dua hal
perubahan terkait penyelenggaraan UN yang dilakukan sekaligus ditahun 2015,
yaitu UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan dan mulai diberlakukannya
UNBK.
Anak-anak secara
otomatis turun minat belajar dan motivasi memiliki nilai yang tinggi karena
memang punya nilai kecil pun tetap yakin lulus. Dulu mendapatkan nilai 4.00
saja sudah was-was karena sudah merupakan batas minimal kelulusan. Namun
sekarang ada yang mendapatkan nilai 2.0 saja malah menjadi bahan candaan
teman-teman dan gurunya. Sebab sekolah sudah pasti meluluskannya, karena
sekolah akan kena teguran dari dinas jika tidak meluluskan siswanya. Jadi,
daripada ribet-ribet sama dinas, dicap sekolah tidak becus meluluskan siswanya,
dimarahi orang tua, mental anak jadi down ah sudah lah luluskan saja. Biar
ganti siswa, ganti suasana daripada ketemu siswa ‘bodoh’ itu lagi tahun depan,
sepertinya hal ini umum terjadi di masyarakat dan beberapa sekolah sekarang.
Kenapa aku tahu? Ya karena aku bagian dari itu, aku termasuk kepala sekolah
yang seperti itu juga. Apalagi sekarang sudah berjalan di tahun ke empat
setelah ditentukan bahwa kelulusan dipegang sama sekolah. Jadi motivasi untuk
menggapai nilai tinggi sudah tidak terlalu bergairah lagi bagi beberapa orang.
Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan RI semakin menggencarkan pelaksanaan UNBK di seluruh sekolah di
Indonesia. Tahun 2019 ini 64.8% SMP di Indonesia akan mengadakan UNBK baik yang
sudah mandiri atau menumpang di sekolah lain (KEMENDIKBUD RI, 2018). Padahal tahun 2017 masih 19.80% SMP yang sudah menjalankan UNBK (KEMENDIKBUD RI, 2017, p. 2), berarti tahun ini banyak sekolah yang lebih melek teknologi. Dibalik
beberapa keunggulan pelaksanaan UNBK (Siddicq, 2018) ternyata memang tidak bisa dipungkiri ada efek buruknya. Secara nilai
jelas menurun, kita tengok lagi tabel dari KEMENDIKBUD RI (2017, p. 5,9) di sana jelas tertulis nilai UNKP jelas lebih unggul daripada UNBK.
Selain itu memang negara kita ini masih banyak yang kagok memegang komputer
atau laptop sebagai bagian dari pembelajaran dan ujian. Anak-anak kita yang
sekarang duduk di bangku sekolah memang generasi Z (lahir dari tahun 1995-2010)
di mana mereka lahir sudah langsung berhadapan dengan teknologi canggih (Wikipedia, 2019). Tapi kebanyakan (ya memang tidak semua) anak-anak belum menggunakan
teknologi itu untuk belajar dan ujian, kebanyakan mereka pakai untuk bermain
dan hiburan semata. Sehingga ketika mengerjakan ujian menggunakan komputer
masih banyak yang kagok bahkan grogi dan menjadi blank. Ini memang benar-benar
terjadi, saya melihat dan mendengar sendiri kondisi anak-anak sewaktu
mengerjakan simulasi UNBK pertama kemarin Desember 2018. Bahkan ada anak yang
bingung mencari karakter bintang (*), selain itu guru-guru yang ikut
simulasi juga berpendapat demikian. Padahal guru-guru tersebut seharusnya sudah
lebih akrab dengan teknologi karena termasuk generasi Y. Tapi tetap saja
beberapa guru di sekolah saya kagok saat ujian yang mengakibatkan lupa beberapa
rumus dan jawabannya. Yaaa.... memang tidak semuanya seperti ini, ada anak yang
memang lebih enjoy menggunakan komputer ketika ujian karena lebih mudah, tidak
melingkari jawaban, tidak ribet ngisi data diri dll. Tapi tetap saja ada
kekurangan pelaksanaan UNBK ini seperti yang disebutkan diatas.
Di samping faktor
UN itu sendiri sebenarnya menurut saya ada hal lain yang mempengaruhi turunnya
nilai, yaitu faktor teknologi. Generasi Z yang memang semasa anak-anak sudah
langsung mengenal teknologi sosial media secara masif, namun masih belum bisa
menggunakannya sesuai dengan yang seharusnya. Kita bahas terkait generasi Z
pada artikel selanjutnya karena memang membutuhkan pembahasan yang lebih detail
dan komprehensif.
Terus, Apakah ini pertanda baik atau
buruk?
Jika kita lihat perubahan
nilai di satu sisi memang ini adalah kabar buruk karena angka-angka prestasi
akademik semakin menurun. Kemudian motivasi anak-anak untuk belajar giat rajin
dan tekun semakin menurun. Hal ini terbukti dengan menurunnya nilai rerata UN
per-tahun di hampir semua sekolah di Indonesia. Berikut adalah 21 sekolah
dengan nilai tertinggi di Kabupaten Bantul mulai dari tahun 2015 hingga 2017 (PUSPENDIK KEMENDIKBUD RI, 2019).
Coba, amati
perubahan nilai dari tahun 2015 ke 2016 dan 2017. Kebanyakan terjadi penurunan
nilai rata-rata UN, tentu hal ini kabar buruk bagi para pecinta angka-angka. UN
2018 memang belum muncul namun berdasarkan PPU (Persiapan Pemantapan Ujian) Kab
Bantul ke 2 nilai rata-ratanya jelas turun drastis (Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul, 2019).
Coba kalau punya
waktu luang silahkan bandingkan satu persatu nama sekolahannya. Jika tidak
punya waktu banyak paling cepat adalah di nomor 1 dengan sekolah yang sama dulu
mendapatkan angka 91 (2015), 90 (2016), 88 (2017) dan 75 (PPU 2 Bantul 2019)
memang nilai PPU biasanya lebih rendah jika dibandingkan dengan waktu ujian
yang sesungguhnya. Namun tetap potensi penurunan nilai sangat mungkin terjadi
jika melihat pola yang seperti ini.
Hal ini tentu
disadari oleh semua kalangan terutama dinas di daerah-daerah, orang tua dan
beberapa sekolah yang katanya “favorit”. Mereka bisa dipastikan tetap terus
menggenjot nilai UN apapun yang terjadi seperti ketika saya setiap datang ke
rapat kepala sekolah di Dinas Kabupaten atau di MKKS (Musyawarah Kerja Kepala
Sekolah) Kabupaten pasti selalu membahas tentang tujuan pendidikan kita adalah
menyaingi kabupaten sebelah dalam nilai UN-nya sehingga kita bisa menjadi nomor
2 bahkan 1 di Provinsi ini. Hampir setiap pertemuan pasti membahas itu, selain
itu program-program pemerintah juga masih menganggap nilai UN adalah hal sakral
yang harus ditingkatkan tanpa mempedulikan apapun. Walaupun penerimaan peserta
didik baru sekarang sudah menggunakan sistem zonasi jarak, tapi tetap juga
nilai UN menjadi pertimbangan kedua untuk masuk ke sekolah negeri. Ujiannya
sudah tidak menganggap nilai itu penting, tapi pemerintah tetap saja menggenjot
nilai dan menggunakannya sebagai pertimbangan masuk ke sekolah selanjutnya.
Begitu juga dengan beberapa
orang tua dan sekolah yang dianggap “favorit” tetap memaksa anak untuk belajar
diluar batas demi mendapatkan nilai yang tinggi. Angka 8 saja sekarang tidak
cukup bagi beberapa orang, harus 9 atau 10 agar mendapatkan gelar yang terbaik
di sekolahan. Beberapa langkah ampuh dilakukan semua pihak seperti memadatkan
jam pelajaran menjadi 5 hari sekolah seperti orang bekerja kantoran sehingga
pulangnya sore bahkan ada yang sampai malam. Selain itu lembaga bimbingan
belajar sekarang tidak pernah sepi bahkan ada beberapa lembaga belajar yang
baru saja muncul dan melayani privat untuk datang kerumah. Praktek-praktek ini
semakin banyak dan umum terjadi di masyarakat karena memang niatnya baik, untuk
meningkatkan nilai anak. Dampaknya anak-anak yang diperlakukan demikian
kebanyakan banyak yang stres dan tertekan sehingga kurang memiliki masa bermain
di waktu kecil. Masa anak-anaknya hanya diisi dengan belajar, belajar dan
belajar lagi tanpa ada variasi yang berarti, sehingga dimungkinkan masa bermain
akan dimaksimalkan ketika sudah tidak ada tekanan (ketika kuliah atau
selepasnya). Bahkan sebenarnya banyak anak-anak juga yang secara suka rela dan
membiarkan masa kecil dan masa bermainnya direnggut oleh ujian dan sekolah. Ya
semoga masa depan putra-putri Indonesia semakin tahun semakin baik.
Positif
Ternyata dibalik semua
hal-hal penurunan angka-angka diatas ada hal positif yang sangat saya sukai dan
memang sesuai dengan diskusi-diskusi kita sewaktu di bangku perkuliahan. Pertama,
UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan sama sekali, Sebab kami
melihat bahwa hal ini tidak benar secara ideologis ataupun psikologis. Siswa
yang sudah belajar 3 tahun di sekolah tapi yang menentukan kelulusan pemerintah
dan hanya dalam waktu 4 hari saja. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ya memang
ada yang mengatakan harus ada standarisasi, namun perlu dipahami semua orang
tidak sama dan tidak adil kalau standarisasinya nilai Matematika, Bahasa
Inggris, IPA, Bahasa Indonesia. Lagian tidak perlu juga kelulusan ditentukan
oleh nilai-nilai itu, karena kemampuan siswa itu sangat kompleks dan beragam
sehingga tidak bisa kalau dikerucutkan dengan angka angka saja. Mantab,
sekarang yang menentukan kelulusan adalah pihak sekolah murni tanpa ada campur
tangan pemerintah sama sekali.
Kedua, Biaya UN sekarang lebih murah. Dulu
pengadaan UN dilakukan dengan cara pencetakan 35 juta eksemplar naskah soal dan
jawaban yang menghabiskan dana milyatan dengan pendistribusian yang super ketat
lagi ribet kepada sekitar 70.000 sekolah di seluruh Indonesia (KEMENDIKBUD RI, 2015, p. 25). Sekarang dengan adanya UNBK biaya-biaya itu sudah tidak ada lagi, ya
memang terus kemudian dialihkan untuk membayar operasional sekolah, proktor
maupun teknisi. Namun menurut saya pembiayaan ini lebih tepat sasaran karena
dibayarkan ke pihak penyelenggara ujian langsung bukan malah memperkaya pihak
ke tiga. Ketiga, anak-anak sudah terlihat lebih enjoy dan tidak
tertekan dengan standar nilai UN pemerintah. Memang hal ini terlihat
sepele, namun akan berefek jangka panjang pada sifat emosi anak. Sekarang
anak-anak bisa menggunakan energinya untuk mengasah kemampuan diri dan potensi
hebatnya masing-masing dibandingkan harus berkutat pada pelajaran yang
sebenarnya tidak dia sukai.
Keempat, UN semakin tidak penting. Menurut saya hal ini
memang perlu diapresiasi dan dilanjutkan karena selama ini fokus pemerintah
hanya tentang angka-angka dan nilai. Namun mengesampingkan kebermanfaatan
materi ajar dan penyampaian pembelajaran di sekolahan. Selain itu sudah
bertahun-tahun nilai UN dijadikan pintu masuk pertama setiap sekolah “yang
katanya favorit”. Hal ini membuat masyarakat mengkotak-kotakkan pendidikan dari
input nilai masuk di sekolahnya. Padahal kualitas sekolah akan di terlihat
betul-betul keren jika dia bisa menerima apapun inputnya namun bisa
mengeluarkan output yang keren karena memang prosesnya betul-betul keren.
Sekarang PPDB sudah menggunakan zonasi dan jarak sebagai pertimbangan pertama,
baru kemudian nilai UN setelahnya. Hal ini membuat semua sekolah mendapatkan
input yang rata kualitasnya.
Mungkin seperti ini
mini riset yang bisa saya tulis atas dasar kegelisahan tentang UN. Semoga bermanfaat
dan bisa terus berkarya.
Dinas Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul.
(2019). Hasil PPU 2 SMP/ MTs Kab. Bantul 2018/2019. Bantul: Dinas
Pendidikan dan Olahraga Kab. Bantul.
Ginanti, A. R. (2018, March 1). Sejak Tahun 2007,
11 Murid Meninggal Karena UN. Depresi Lalu Bunuh Diri Penyebab Terbanyak
[blogpost]. Retrieved January 10, 2019, from
http://cewekbanget.grid.id/read/06864884/sejak-tahun-2007-11-murid-meninggal-karena-un-depresi-lalu-bunuh-diri-penyebab-terbanyak
KEMENDIKBUD RI. (2015, January). Kebijakan
Perubahan Ujian Nasional. Jakarta. Retrieved from
https://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/un2015/Ujian%20Nasional%202015%20v0.4.pdf
KEMENDIKBUD RI. (2017). Konferensi Pers UN 2017
Jenjang SMP UN untuk memantau, mendorong dan meningkatkan mutu pembelajaran (p.
23). Presented at the Konferensi Pers UN 2017, Jakarta: Kemendikbud RI.
Retrieved from https://kemdikbud.go.id/main/files/download/9c7fdf36a39328d
KEMENDIKBUD RI. (2018, December 30). Ujian
Nasional Berbasis Komputer 2018/2019. Retrieved December 30, 2018, from
https://unbk.kemdikbud.go.id/
Mutiara, P. (2016, June 11). Nilai UN
Turun,Rerata IIUN Naik [News]. Retrieved January 12, 2019, from
http://mediaindonesia.com/read/detail/50225-nilai-un-turun-rerata-iiun-naik
Purwanto. (2015). UN Murni Tahun 2014 Prov.
Sulawesi Barat Kabupaten Mamuju. Presented at the Pusat Data dan Statistik
Pendidikan-Kebudayaan Setjen, Kemdikbud, Jakarta. Retrieved from
http://sdm.data.kemdikbud.go.id/upload/files/Profil%20Prov.%20Sulawesi%20Barat%20-%20Kab.%20Mamuju%20(2).pdf
PUSPENDIK KEMENDIKBUD RI. (2019, January 13).
Rekap Hasil Ujian Nasional (UN) Jenjang SMP/ MTs Prov. DIY., Kab. Bantul.
Retrieved January 12, 2019, from https://puspendik.kemdikbud.go.id/hasil-un/
Setiawan, Y. (2015, December 30). IIUN Untuk
Menumbuhkan Sikap Integritas Dari Sekolah. Retrieved January 12, 2019, from
http://psmk.kemdikbud.go.id/konten/1373/iiun-untuk-menumbuhkan-sikap-integritas-dari-sekolah
Siddicq, A. (2018, December 31). Mengapa Harus
Ada UNBK SMP/ MTs: 5 Keunggulan UNBK vs UNKP [Ketikan Kang SIddicq]. Retrieved
January 12, 2019, from
http://www.kangsiddicq.net/2018/12/mengapa-harus-ada-unbk-smp-mts-5.html
Wikipedia. (2018). Ujian Nasional. In Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Wikipedia.org. Retrieved from
https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ujian_Nasional&oldid=13689953
Wikipedia. (2019). Generasi Z. In Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Wikipedia.org. Retrieved from https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Generasi_Z&oldid=14656296
Zahra, N. (2014, May 12). Seto Mulyadi: UN Hanya
Ciptakan Siswa Stres! [News]. Retrieved January 10, 2019, from
https://megapolitan.kompas.com/read/2014/05/12/1355327/Seto.Mulyadi.UN.Hanya.Ciptakan.Siswa.Stres.
0 Comments: